BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akad Mudharabah adalah akad antara pemilik modal dengan pengelola modal,dengan ketentuan bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai dengankesepakatan. Didalam pembiayaan mudharabah pemilik dana (Shahibul Maal)membiayai sepenuhnya suatu usaha tertentu. Sedangkan nasabah bertindak sebagai pengelola usaha (Mudharib).
Pada prinsipnya akad mudharabah diperbolehkandalam agama Islam, karena untuk salingmembantu antara pemilik modal dengan seorang yang pakar dalam mengelola uang. Dalam sejarah Islam banyak pemilik modal yang tidak memiliki keahlian dalam mengelola uangnya. Sementara banyak pula para pakar dalam perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Oleh karena itu, atas dasar saling tolong menolong, Islam memberikan kesempatan untuk saling berkerja sama antara pemilik modal dengan orang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu. Akad mudharabah berbeda dengan akad pembiayaan yang ada pada perbankan pada umumnya (perbankan konvensional). Perbankan konvensional pada umumya menawarkan pembiayaan dengan menentukan suku bunga tertentu dan pengembalian modalyang telah digunakan mudharib dalam jangka waktu tertentu.
Namun Akad mudharabah tidak menentukan suku bunga tertentu pada mudharib yang menggunakan pembiayaan mudharabah, melainkan mewajibkan mudharibmemberikan bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh mudharib. Pembiayaan mudharabah pada dasarnya diperuntukan untuk jenis usaha tertentu atau bisnis tertentu. Oleh karena itu, kami sebagai pemakalah akan mencoba membahas tentang mudharabah ini serta permasalahan yang ada didalamnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari mudharabah?
2. Apa landasan syariah dari mudharabah?
3. Sebutkan rukun, macam dan syarat mudharabah?
4. Apa hak dan batas kewenangan mudharib?
5. Apa yang dimaksud mudharah paralel?
6. Apa hak yang membatalkan akad mudharabah?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami dan mengetahui mudharabah beserta hukum, rukun, macam, serta syaratnya.
2. Memahami dan mengetahui mudharabah paralel.
3. Memahami dan mengetahui batas kewenangan mudharib.
4. Memahami dan mengetahui hak yang membatalkan akad mudharabah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Mudharabah berasal dari kata dharb, artinya memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang menggerakkan kakinya dalam menjalankan usaha. Mudharabah merupakan bahasa penduduk Iraq, sedangkan menurut bahasa penduduk Hijaz disebut dengan istilah disebut dengan istilah qiradh.
Secara terminologis adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola usaha (mudharib).
Keuntungan usaha yang didapatkan dari akad mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, dan biasanya dalam bentuk nisbah (persentase). Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh shahibul mal sepanjang kerugian itu bukan akibat kelalaian mudharib. Sedangkan mudharib menanggung kerugian atas upaya, jerih payah dan waktu yang telah dilakukan untuk menjalankan usaha. Namun jika kerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudharib, maka mudharib harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut [1].
B. Landasan syaria
1. إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَىٰ مِن ثُلُثَىِ ٱلَّيْلِ وَنِصْفَهُۥ وَثُلُثَهُۥ وَطَآئِفَةٌ مِّنَ ٱلَّذِينَ مَعَكَ ۚ وَٱللَّهُ يُقَدِّرُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ
عَلَيْكُمْ ۖ فَٱقْرَءُوا۟ مَا تَيَسَّرَ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ ۚ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَىٰ ۙ وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى ٱلْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ ۙ وَءَاخَرُونَ يُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ فَٱقْرَءُوا۟ مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ۚ وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَقْرِضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا ۚ وَٱسْتَغْفِرُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌۢ
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya…. (QS: Al-Muzzammil Ayat: 20)
2. Hadis riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas
“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menaggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abba situ didengar Rasulullah, beliau membenarkannya”.
3. Hadis riwayat Ibnu Majah
“Nabi bersabda, ada tiada hal yang mengandung berkah; jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur dandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga bukan dijual”.
5. Qiyas merupakan dalil lain yang membolehkan Mudharabah dengan mengqiyaskannya (analogi) kepada transaksi Musaqat, yaitu bagi hasil yang umum dilakukan dalam bidang perkebunan.
C. Rukun Mudharabah
1. Shahibul maal (pemilik dana)
2. Mudharib (pengelola)
3. Sighat (ijab qabul)
4. Ra’sul maal (modal)
5. Pekerjaan
6. Keuntungan
D. Syarat Mudharabah:
1. Shahibul maal dan mudharib
· Harus mampu bertindak layaknya sebagai majikan dan wakil
2. Sighat atau ijab dan qabul
· Harus diucapkan oleh kedua pihak untuk menunjukkan kemauan mereka
· Terdapat kejelasan tujuan dalam melakukan sebuah kontrak
3. Modal
Adalah jumah uang yang diberikan shahibul maal kepada mudharib untuk tujuan investasi dalam akad mudharabah.
· Diketahui jumlah dan jenisnya (mata uang)
· Disetor tunai kepada mudharib
4. Keuntungan
Adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal.
· Kadar keuntungan harus diketahui, berapa jumlah yang dihasilkan
· Keuntungan dibagi secara proporsinal kepada kedua pihak
· Proporsi (nisbah) keduanya sudah dijelaskan saat melakukan kontrak
5. Pekerjaan/usaha perniagaan
Adalah kontribusi mudharib dalam kontrak mudharabah yang disediakan sebagai pengganti untuk modal yang disediakan oleh shahibul maal.
· Usaha perniagaan adalah hak eksklusif mudharib tanpa adanya intervensi dari pihak shahibul maal
· Pemilik dana tidak boleh membatasi tindakan dan usaha mudharib
· Mudharib tidak boleh menyalahi menyalahi aturan syariah dalam usaha perniagaannya
· Mudharib harus mematuhi syarat-syarat yang ditentukan shahibul maal[2].
E. Macam Mudharabah
1. Mudharabah muthlaqah
Adalah akad kerjasama dimana mudharib diberikan kekuasaan penuh untuk mengelola modal usaha. Mudharib (pengelola) tidak dibatasi dengan tempat usaha, tujuan maupun jenis usaha.
2. Mudharabah muqayyadah
Adalah akad kerjasama dimana shahibul maal (pemilik dana) menetapkan syarat tertentu yang harus dipatuhi mudharib(pengelola), baik mengenai tempat usaha, tujuan maupun jenis usaha[3].
F. Hukum Mudharabah
Mudharabah akan dikatakan fasid jika terdapat salah satu syarat yang tidak terpenuhi. Jika semua syarat terpenuhi, maka akad mudharabah dikatakan shahih. Dalam konteks ini, mudharib diposisikan sebagai orang yang menerima titipan asset shahibul mal. Ketika mudharib melakukan pembelian, ia layaknya sebagai wakil dari shahibul mal, ia melakukan transaksi atas asset orang lain dengan mendapatkan izin darinya. Ketika mudharib mendapatkan keuntungan atas transaksi yang dilakukan, ia berhak mendapatkan bagian dari keuntungan yang dihasilkan, dan bagian lainnya milik shahibul mal. Jika mudharib mealnggar syarat yang ditetapkan shahibul mal, maka ia diposisikan sebagai orang mengghosob (menggunakan harta orang tanpa izin) dan memiliki tanggung jawab penuh atas harta tersebut.
Jika terjadi kerugian atas asset, maka ia tidak diharuskan untuk menanggung kerugian, karena ia diposisikan sebagai pengganti shahibul mal dalam menjalankan bisnis, sepanjang tidak disebabkan karena kelalaian. Jika terjadi kerugian, maka akan dibebankan kepada shahibul mal, atau dikurangkan dari keuntungan, jika terdapat keuntungan bisnis.
Jaminan dalam kontrak mudharabah merujuk pada tanggung jawab mudharib untuk mengembalikan modal kepada pemilik dana dalamsemua keadaan. Hal ini tidak dibolehkan, karena adanya fakta bahwa pegangan mudharib akan dana itu sifatnya amanah, dan orang yang diamanahkan tidak berkewajiban menjamin dana itukecuali menlanggar batas ataumenyalahi keuntungan.
Jika shahibul mal mensyaratkan kepada mudharib untuk menjamin penggantian modal ketika terjadi kerugian, maka syarat itu merupakan syarat batil dan akad tetap sah adanya, ini menurut pendapat Hanafiyah. Menurut Syafiiyyah dan Malikiyyah, akad mudharabah menjadi fasid (rusak), karena syarat tersebut bersifat kontradiktif dengan karakter dasar akad mudharabah[4].
G. BATAS KEWENANGAN MUDHARIB
Jika akad mudharabah berupa mudharabah muthlaqah, maka mudharib memiliki kewenangan penuh untuk menjalankan bisnis apa saja, dimana, kapan, dan dengan siapa saja. Karena maksud dari mudharabah adalah mendapatkan keuntungan, dan tidak akan didapatkan dengan melakukan transaksi bisnis. Mudharib diperbolehkan menitipkan aset mudharabah kepada pihak lain (bank, misalnya), karena hal ini merupakan suatu hal yang bisa dihindari. Ia juga memiliki hak untuk merekrut karyawan guna menjalankan bisnis, seperti halnya sewa gedung, alat transportasi dan lainnya yang mendukung operasional bisnis untuk mendapatkan keuntungan. Namun demikian ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan mudharib.
Ia tidak boleh melakukan withdraw (berhutang) atas aset mudharabah tanpa izin dari shahibul mal, karena hal itu akan menambah tanggungan shahibul mal. Jika shahibul mal membolehkan, maka penarikan itu menjadi hutang pribadi mudharib yang harus dibayar. Ulama malikiyah berpendapat bahwa mudharib tidak boleh membeli barang dengan utang, sekalipun pemilik modal mengizinkannya. Jika mudharib melakukannya, maka dia menanggung resiko apa yang dibelinya, keuntungannya dimiliki sendiri dan pemilik modal tidak berhak mendapat apapun darinya. Hal itu karena Nabi Muhammad saw melarang mengambil keuntungan yang tidak dijaminnya. Maka bagaimana mungkin pemilik modal mengambil keuntungan dari sesuatu yang menjadi tanggungan amil?
Mudharib juga tidak membeli aset dengan cara berhutang, walaupun mendapatkan izin dari shahibul mal. Jika mudharib tetap melakukannya, maka ia harus menanggung beban hutang itu. Namun, jika terdapat keuntungan akan menjadi miliki penuh mudharib. Shabul mal tidak berhak apapun, karena ia tidak ikut menanggung resiko. Mudharib tidak diperbolehkan menginvestasikan aset mudharbah kepada orang lain dengan akad mudharabah, melakukan akad syirkah, dicampur dengan harta pribadi atau harta orang lain, kecuali mendapatkan kebebasan penuh dari shahibul mal. Dengan adanya transaksi ini , maka akan terdapat hak orang lain atas aset shahibul mal, sehingga tidak diperbolehkan kecuali mendapatkan kesepakatan dari shahibul mal[5].
H. MUDHARABAH PARALEL
Menurut Hanafiyah, mudharib tidak diperbolehkan menyerahkan aset mudharabah kepada orang lain tanpa mendapatkan kesepaktan shahibul mal, baik hanya sebagai titipan atau diberdayakan oleh pihak ketiga (mudharib kedua). Jika aset yang diterima mudharib kedua hanya sebagai titipan, maka mudharib pertama tidak berkewajiban menanggung risiko yang ada, karena hanya diposisikan sebagai wadi’ah. Namun, jika mudharib pertama menyerahkan aset mudharabah kepada mudharib kedua dengan maksud investasi, maka mudharib pertama memiliki tanggung jawab penuh terhadap shahibul mal. Menurut Zafar, mudharib pertama bertanggung jawab penuh atas aset mudharabah, baik hanya sebagai titpan atau investasi, seperti halnya ketika kita menitipkan titipan kita kepada orang lain.
Menurut imam shahiban, jika penyerahan aset itu dimaksudkan untuk investasi, dan digunakan mudharib kedua untuk menjalankan bisnis, maka mudharib pertama bertanggung jawab penuh atas aset mudharabah. Dengan alasan, mudharib kedua menggunakan aset tanpa izin pemiliknya. Jika mudharib kedua menggunakan aset tersebut, shahibul mal memiliki dua opsi, tanggung jawab risiko aset itu dibebankan kepada mudharib pertama atau kedua. Menurut, pendapat yang shahih dari Hanafiyah, mudharib pertama bertanggung jawab penuh atas risiko aset yang diberikan mudharib kedua untuk menjalankan bisnis.
Jika terdapat keuntungan dalam mudharabah paralel ini, akan dibagi sesuai kesepakatan mudharabah pertama (antara shahibul mal dan mudharib pertama). Bagian keuntungan mudharib pertama, akan dibagi dengan mudharib kedua sesuai kesepakatan dalam akad mudharabah kedua. Ulama 4 mazhab sepakat bahwa risiko mudharabah paralel ditanggung oleh mudharib pertama[6].
Mudharib memiliki beberapa hak dalam akad mudharabah, yakni nafkah (living cost, biaya hidup) dan keuntungan yang disepakti dalam akad. Ulama berbeda pendapat tentang hak mudharib atas aset mudharabah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik ketika dirumah atau dalam perjalanan. Menurut, imam syafi’i, mudharib tidak berhak mendapatkan nafkah atas kebutuhan pribadinya dari aset mudharabah, baik dirumah atau dala perjalanan. Karena, mudharib kelak akan mendapatkan bagian keuntungan, dan ia tidak berhak mendapatkan manfaat lain dari akad mudharabah. Nafkah ini bisa jadi nominalnya dengan bagian keuntungan, dan mudharib akan mendapatkan lebih. Jika nafkah ini disyaratkan dalam kontrak, maka akad mudharabah fasid hukumnya.
Menurut abu hanifah dan imam malik, mudharib hanya berhak mendapatkan nafkah dari aset mudharabah ketika ia melakukan perjalanan, baik biaya transportasi, makan ataupun pakaian. Madzhab hanabalah memberikan keleluasan, mudharib berhak mendapatkan nafkah pribadi, baik dirumah atau dalam perjalanan, dan boleh menjadikan syarat dalam akad.
Menurut Hanafiyah, mudharib berhak mendapatkan nafkah dari aset mudharabah untuk memenuhi kegiatan bisnis yang meliputi: makan minum, lauk pauk, pakaian, gaji karyawan, sewa rumah, listrik, telepon, transportasi, upah, cuci pakaian, begitu juga dengan biaya dokter. Semuanya ini diperlukan demi kelancaran bisnis yang dijalankan. Kadar nafkah ini harus disesuaikan dengan yang berlaku dikhalayak umum.
Biaya yang dikeluarkan oleh mudharib (dalam menjalankan bisnis) akan dikurangkan dari keuntungan, namun jika ada keuntungan, akan dikurangkan dari aset shahibul mal, dan dihitung sebagai kerugian. Jika mudharib melakukan perjalanan bisnis dan menetap selama 15 hari, maka biaya perjalanan bisnis ini diambil dari aset mudharabah. Ketika ia kembali, jika terdapat sisa biaya perjalanan, harus dikembalikan sebagai aset mudharabah. Jika mudharib menggunakan biaya pribadi maka akan menjadi hutang dan akan dikurangkan dari aset mudharabah.
Selain itu, mudharib juga berhak mendapatkan keuntungan, namun jika bisnis yang dijalankan tidak mendapatkan keuntungan, mudharib tidak berhak mendapatkan apa pun. Keuntungan akan dibagikan, setelah mudharib menyerahkan aset yang diserahkan shahibul mal (ra’sul mal) secara utuh, jika masih terdapat kelebihan sebagai keuntungan akan dibagi sesuai kesepakatan.
Menurut Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah, mudharib berhak mendapatkan bagian atas hasil bisnis, tanpa harus dihitung dari keuntungan (revenue sharing). Akan tetapi, mayoritas ulama sepakat, mudharib harus mengembalikan pokok harta shahibul mal, dan ia tidak berhak mendapatkan bagian sebelumnya menyerahkan modal shahibul mal. Jika masih terdapat keuntungan, akan dibagi sesuai kesepakatan (profit sharing).
J. HAL YANG MEMBATALKAN AKAD MUDHARABAH
a) Fasakh (pembatalan) dan larangan usaha atau pemecatan
Mudharabah batal dengan adanya fasakh dan dengan larangan usaha atau pemecatan, jika terdapat syarat fasakh dan larangan tersebut yaitu, mudharib mengetahui dengan adanya fasakh dengan larangan tersebut serta modal dalam keadaan berbentuk uang dengan pada waktu fasakh dengan larangan tersebut. Hal itu agar jelas apakah terdapat keuntungan bersama antara mudharib dan pemilik modal. Jika modal tersebut masih berbentuk barang, maka pemecatannya tidak sah. Hal ini mengakibatkan bahwa jika mudharib tidak mengetahui dengan adanya fasakh atau larangan usaha tersebut, maka usahanya diperbolehkan. Jika mudharib telah mengetahui perihal pemecatannya sedangkan modalnya masih dalam bentuk barang, maka dia boleh menjualnya untuk mengubah modal menjadi uang agar keuntngannya terlihat. Dalam hal ini, pemilik modal tidak mempunyai hak melarangnya dalam penjualan barang tersebut karena hal itu bisa menghilangkan hak mudharib.
b) Kematian salah satu pelaku akad
Jika pemilik modal atau mudharib meninggal, maka akad mudharabah menjadi batal menurut mayoritas ulama, mudharabah batal baik mudharib mengetahui perihal meninggalnya pemiliki modal maupun tidak, karena kematian mengeluarkan mudharib dari mudharabah secara hukum, maka tidak bergantung pada pengetahuannya.
c) Salah satu pelaku akad menjadi gila
Mudharabah batal menurut ulama selain syafi’iyah dengan gilanya salah satu pelaku akad, jika gilanya itu gila permanen, karena gila membatalkan sifat ahliyah (kelayakan/kemampuan). Adapun pelarangan membelanjakan harta bagi mudharib karena bodoh atau idiot, maka menurut ulama Hanafiyah mudharib tidak keluar dari mudharabah, karena dalam keadaan itu dianggap seperti anak kecil yang belum balig (mumayyiz). Menurut mereka, anak yang mumayyiz memiliki sifat ahliyah (kelayakan/kemampuan) untuk menjadi wakil dari orang lain, maka dengan demikian juga dengan orang yang bodoh.
Jika pemilik modal murtad dari agama islam lalu mati atau terbunuh dalam keadaan murtad, atau ia masuk ke negeri musuh dan hakim telah mengeluarkan keputusan tentang perihal masuknya ke negeri musuh tersebut, maka mudharabahnya batal semenjak hari murtadnya menurut ulama Hanafiyah. Hal itu karena masuk ke negeri musuh sama kedudukannya dengan kematian, dan itu menghilangkan sifat ahliah (kemapuan/kelayakan) Pemilik modal, dengan dalil bahwa orang yang murtad itu hartanya boleh dibagikan kepada para ahli warisnya.
e) Rusaknya modal mudharabah ditangan mudharib
Jika modal rusak ditangan mudharib sebelum dibelanjakan sesuatu, maka mudharabahnya batal. Pasalnya, modal menjadi spesifik untuk mudharabah dengan adanya penerimaan barang, sehingga akadnya batal dengan rusaknya modal. Demikian juga akad mudharabah batal dengan digunakannya modalnya oleh mudharib, dinafkahkan atau diberikan pada orang lain kemudian digunakan oleh orang tersebut, hingga mudharib tidak memiliki hak untuk membeli sesuatu untuk mudharabah. Jika mudharib mengganti modal yang digunakannya, maka dia dapat membelanjakan kemabali modal tersebut untuk mudhrabah.
BAB III
KESIMPULAN
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Rukun-rukun mudharabah yaitu pemilik modal (shahibul mal), pengelola(mudharib); objek yang diakadkan (modal, jenis usaha, keuntungan), dan shigat (akad). Hukum mudharabah berbeda-beda, karena adanya perbedaan-perbedaan keadaan, maka kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah (qiradh) juga tergantung kepada keadaan. Karena pengelola modal perdagangan mengelola modal tersebut atas izin pemilik harta, maka pengelola modal adalah wakil dari pemilik barang tersebut dalam pengelolaannya. Jika pemilik modal meninggal dunia, maka mudharabah menjadi fasakh(batal), bila mudharabah telah fasakh, maka pengelola modal tidak berhakmengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertindak menggunakan modaltersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik modal telah meninggal dantanpa izin para ahli waris, maka perbuatan seperti ini dianggap sebagai ghasab.
DAFTAR PUSTAKA
Az-zuhaili, wahbah, 2011, Fiqih islam wa adillatuh. Jakarta. Gema insane.
Djuwaini, dimyauddin, 2010, Pengantar fiqih muamalah. Yogyakarta. Pustaka belajar.
Mas’adi, Gufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta. Rajawali Pers. Muhammad Ruswan Qal’ah Gie, 1999, Al Muamalat al-Maaliyah al-Mu’ashirah fi Dlaui al Fiqh wa asy-Syariah. Daar an Nafais. Beirut.
[1]Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-islam wa Adillatuhui Damakus. Daar al-Fikr, Jilid IV, 1989, hlm. 836.
[2] Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-islam wa Adillatuhui Damakus. Daar al-Fikr, Jilid IV, 1989, hlm. 848-851.
[3] Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-islam wa Adillatuhui Damakus. Daar al-Fikr, Jilid IV, 1989, hlm. 840.
[4] Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-islam wa Adillatuhui Damakus. Daar al-Fikr, Jilid IV, 1989, hlm. 854.
[5] Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-islam wa Adillatuhui Damakus. Daar al-Fikr, Jilid IV, 1989, hlm. 855-858.
[6] Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-islam wa Adillatuhui Damakus. Daar al-Fikr, Jilid IV, 1989, hlm. 858-861.