Makalah tentang Riba

by - 1/03/2018

http://www.assalamconsultant.com/v3/wp-content/uploads/

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya didunia islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang muslim dari Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedianya, tidak diberlakukan di negeri islam manapun.

Disisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang.

Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur`an Surat Al-Baqarah 275: padahal Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ... pandangan ini juga mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti di perbankan konvensional, karna menurut sebagian pendapat ulama, bunga bank termasuk riba.


B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian riba?

2. Apakah dasar dilarangnya riba dalam islam?

3. Sebutkan dan jelaskan macam-macam riba klasik?

4. Bagaimanakah pendapat ulama tentang riba nasi`ah dan riba fadhl?


C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini yaitu untuk lebih mengetahui dan memahami secara mendalam tentang riba. Sebagai mana kita ketahui riba sering disalah gunakan dalam bermu`amalah, bukan hanya oleh masyarakat yang masih awam tentang riba namun pihak-pihak yang telah mengetahuai tentanh hukum riba pun masih menggunakanya untuk memperoleh keuntungan.





BAB II

PEMBAHASAN


A. Pengertian Riba

Riba secara bahasa berarti tambahan. Allah berfirman: “Kemudian apabila telah kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tumbuhan yang indah.” (Al-Hajj:5) maksudnya, bertambah dan berkembang.[1]

Riba secara bahasa adalah Az-Ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Menurut Istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.[2] Dalam buku Fiqh Islam Wahbah Az-Zuhaili, riba didefinisikan sebagai tambahan pada barang-barang tertentu. Menurut ulama Hambali. Dalam kitab Kanzul Ummaal, sebuah kitab dalam madzhab Hanafi, riba diartikan sebagai tambahan tanpa imbalan dalam transaksi harta dengan harta. Maksud tambahan disisni adalah tambahan harta meski secara hukmi saja, sehingga definisi ini mencakup riba nasiah dan jenis-jenis akad jual beli yang fasid (rusak).

Dari banyak pengertian Riba menurut para Ulama, bisa diambil kesimpulan bahwa riba adalah mengambil tambahan dari harta orang lain secara batil. Biasanya praktek riba terjadi saat pemberian hutang atau pinjaman, bisa terjadi juga ketika melakukan tukar-menukar barang.


B. Larangan Riba dalam Islam

Larangan riba dalam Al-Qur`an:

Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak turun sekaligus, melainkan diturunkan dengan empat tahap.[3]

Tahap pertama, menolak anggapan bahwa peminjaman riba pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT.

Dalam firman Allah:

"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).(Q.S Ar-Ruum :39)

Tahap kedua, Riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang yahudi yang memakan riba.

Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.(An-Nisaa : 160-161)

Tahap ketiga, riba diharamkan dengan kaitan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli Tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(Q.S Ali Imran 130 )


Ayat ini turun pada tahun ke 3 H. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bungan berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu.

Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surat Al-Baqarah yang turun pada tahun ke 9 H

Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari jenis pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(Q.S. Al-Baqarah 2:278-279)

Mengenai Larang Riba, Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(Q.S An-Nisaa :29)


Dari ayat diatas, sudah jelas bahawa Allah melarang memakan harta sesama manusia dengan jalan yang batil, dalam hal ini adalah Riba.

Menurut Dr. WahbahAz-Zuhaili; riba diharamkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah: 275)

Dalam ayat tersebut Allah membalas bangsa Arab jahiliyah yang mengatakan bahwa jual beli yang tidak mengandung riba adalah sama seperti jual beli yang mengandung riba. Maksudnya, tambahan harta yang diberikan pada waktu penyerahan barang setelah adanya penangguhan adalah seperti bagian dari harga barang pada awal akad. Maka Allah menjelaskan perbedaan antara kedua kad tersebut, yaitu bahwa tambahan pada salah satu akad adalah untuk menangguhkan utang dan pada akad yang lain untuk jual beli. Selain itu, akad jual beli adalah bagian dari imbalan, karena harga barang merupakan pengganti dari barang yang diberikan. Sedangkan riba merupakan tambahan tanpa imbalan sebagai konsekuensi atas penangguhan waktu, atau merupakan tambahan dalam jenis barang.[4]


Adapun sunnah, dalam sebuah hadits mengenai tujuh hal yang merusak (as-sab’ul muwbiqaat) disebutkan bahwa salah satunya adalah pemakan riba. Diriwayatkan juga dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Rasulullah melaknat pemakan riba, saksinya dan penulisnya.”

Umat Islam sepakat bahwa riba diharamkan. Mawardi berkata, “Bahkan dikatakan bahwa riba tidak pernah dibolehkan dalam syariat apapun.” Hal ini sesuai firman Allah, “Dan disebabkan mereka memakan riba padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya.” (an-Nisaa’:161) Maksudnya mereka dalam kitab-kitab suci terdahulu.


C. Macam-macam Riba Klasik


Menurut pendapat sebagian ulama, riba itu ada empat macam:

· Riba Fadli = Pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

Harta yang dapat mengandung riba sebagaimana disebutkan dalam hadits nabawi, hanya terbatas pada emas, perak, gandung, terigu, kurma dan garam saja. Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, kurma dengan kurma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim).

Di luar keenam jenis barang itu tentu boleh terjadi penukaran barang sejenis dengan kadar dan kualitas yang berbeda. Apalagi bila barang itu berlainan jenisnya. Tentu lebih boleh lagi.


* Emas : Barter emas dengan emas hukumnya haram,


bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, emas 10 gram 24 karat tidak boleh ditukar langsung dengan emas 20 gram 23 karat. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.


* Perak : Barter perak dengan perak hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, perak 100 gram dengan kadar yang tinggi tidak boleh ditukar langsung dengan perak200 yang kadarnya lebih rendah. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.


*Gandum : Barter gandum dengan gandum hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda.Misalnya, 100 Kg gandum kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg gandum kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.


* Terigu : Demikian juga barter terigu dengan teriguhukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg terigu kualitas nomor satu tidak boleh.ditukar langsung dengan 150 kg terigu kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.


* Kurma : Barter kurma dengan kurma hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 1 Kg kurma ajwa (kurma nabi) tidak boleh ditukar langsung dengan 10 kg kurma Mesir. Kecuali setelah dikonversikanterlebih dahulu masing-masing benda itu


* Garam



· Riba Qardh = Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).


· Riba Nasi’ah = Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam Nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.

· Riba Jahiliyyah = Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditentukan.[5] Sebagian ulama menyamakan riba nasi`ah dengan riba jahiliyyah.


Contoh : Ahmad ingin membangun rumah. Untuk itu dia pinjam uang kepada bank sebesar 144 juta dengan bunga 13 % pertahun. Sistem peminjaman seperti ini, yaitu harus dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya, maka transaksi ini adalah transaksi ribawi yang diharamkan dalam syariat Islam.


D. Pandangan Ulama Tentang Riba Nasi`ah dan Riba Fadhl


1. Madzhab Hanafi


Riba fadhl menurut ulama Hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar atau ditimbang serta barang yang sejenis seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering. Dengan kata lain jika barang-barang yang sejenis dari barang-barang yang telah disebut di atas seperti gandum dengan gandum ditimbang untuk diperjualbelikan dan terdapat tambahan dari salah satunya, terjadilah riba fadhl.


Adapun jual beli pada selain barang-barang yang ditimbang seperti hewan, kayu dan lain-lain tidak dikatakan riba meskipun ada tambahan dari salah satunya seperti menjual 1 ekor kambing dengan 2 ekor kambing sebab tidak termasuk barang yang bisa ditimbang. (Alauddin al-Khuskhafi, Ad-Durul Mukhtar, juz 4, hal. 185)


Ulama Hanafiyah mendasarkan pendapat mereka pada hadits shahih Said al-Khudri dan Ubadah ibn Shanit ra bahwa Nabi Saw bersabda, “emas dengan emas, keduanya sama (mitslan bi mitslin), tumpang terima (yadan bi yadin), (apabila ada) tambahan adalah riba, perak dengan perak, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, gandum dengan gandum, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, sya’ir dengan sya’ir, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, kurma dengan kurma, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba”.


Di antara hikmah diharamkannya riba adalah untuk menghilangkan tipu menipu di antara manusia dan juga menghindari kemudharatan. Asal keharamannya adalah Sadd Adz-Dzara’i (menurut pintu kemudharatan).


Namun demikian tidak semuanya berdasarkan sadd adz-dzara’i tetapi ada pula yang betul-betul dilarang seperti menukar barang yang baik dengan yang buruk sebab hal yang keluar dari ketetapan harus adanya kesamaan (mitslan bi mitslin).


Riba nasi’ah adalah adanya salah satu dari 2 sifat yang ada pada riba fadhl dan pembayarannya diakhirkan. Riba jenis ini telah biasa dikerjakan oleh orang jahiliyah seperti seseorang membeli 2 kg gandum pada bulan Muharram dan akan dibayar menjadi 2,5 kg gandum pada bulan Safar.


Definisi riba al-nasi’ah menurut beberapa ulama:


Menurut Wahbah al-Zuhaily, riba Nasi’ah adalah penambahan harga atas barang kontan lantaran penundaan waktu pembayaran atau penambahan ‘ain (barang kontan) atas dain (harga utang) terhadap barang berbeda jenis yang di timbang atau ditakar atau terhadap barang sejenis yang tidak ditakar atau ditimbang.


Menurut Abdur Rahman al-Zajairi, riba Nasi’ah adalah riba atau tambahan (yang dipungut) sebagai imbangan atas penundaan pembayaran”.


Menurut Sayid Sabiq, riba Nasi’ah ialah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh orang yang menghutangi dari orang yang berhutang, sebagai imbangan atas penundaan pembayaran utangnya. Misalnya si A pinjam satu juta rupiah kepada si B dengan janji setahun waktu pengembaliaan utangnya. Setelah jatuh temponya, si A belum bisa mengembalikan utangnya kepada si B, maka si A menyanggupi untuk memberi tambahan dalam pembayaran utangnya jika si B mau menambah/ menunda jangka waktunya; atau si B yang menawarkan kepada si A, apakah A mau membayar utangnya sekarang, ataukah ia mau minta ditangguhkan dengan memberikan tambahan. Inilah praktek jahiliyah yang kemudian dilarang oleh Islam. Karena itu, riba nasiah juga disebut riba jahiliyah.


Disimpulkan dua macam (kasus) riba Nasi’ah. Pertama, penambahan dari harta pokok sebagai kompensasi penundaan waktu pembayaran. Kedua, penundaan penyerahan salah satu dari barang yang dipertukarkan dalam jual beli barang ribawi yang sejenis.


Definisi riba al-Fadhl menurut beberapa ulama:


Menurut Sayid Sabiq, yang dimaksud dengan riba Fashl adalah jual beli emas atau perak, atau jual beli bahan makanan dengan bahan makanan yang sejenis dengan ada tambahan.


Menurut Wahbah Zuhaily, yang dimaksud dengan riba Fadhl adalah penambahan pada salah satu dari benda yang ditertukarkan dalam jual beli benda ribawi yang sejenis, bukan karena faktor penundaan pembayaran.


Dalam membahas riba Fadhl terdapat dua term yang memerlukan pembahasan lebih lanjut, yakni benda ribawi dan sejenis. Para fuqaha sepakat bahwasannya riba fadhl hanya berlaku pada harta ribawi. Mereka juga sepakat terhadap tujuh macam harta benda sebagai harta benda ribawi karena dinyatakan secara tegas dalam nash hadits. Ketujuh harta benda tersebut adalah: (1) emas, (2) perak, (3) burr, jenis gandum, (4) syair, jenis gandum, (5) kurma, (6) zabib, anggur kering, dan (7) garam. Selain tujuh macam harta benda tersebut fuqaha berselih pandangan.


Meurut fuqaha mazhab Hanafiyah persamaan jenis meliputi tiga hal: (1). Persamaan asal, seperti beras dan tepung beras adalah sejenis, sedangkan tepung beras dengan tepung terigu adalah berbeda jenis. (2). Persamaan fungsi dan kegunaannya, misalnya daging gibas dan daging kambing adalah sejenis, sedangkan wool yang terbuat dari kulit gibas dan kulit kambing adalah berbeda jenis. (3). Tidak mengandung produktivitas kerja manusia, misalnya gandum dan roti yang terbuat dari gandum adalah berbeda jenis.


Para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam mengqiyaskan apa saja yang mempunyai makna dan illat dengan jenis harta benda diatas dari apa saja yang bisa ditakar, ditimbang, dimakan, dan disimpan, misalnya seluruh biji-bijian, minyak, madu, dan daging. Sa’id bin al-Musayyib berkata, “tidak ada riba kecuali pada apa yang bisa ditakar dan ditimbang dari apa saja yang bisa dimakan dan diminum”.


Berbagai pendapat tentang dua macam jenis riba dikalangan para ulama fikih. Menurut ulama mazhab Hanafi dalam salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, riba Fadhl ini hanya berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukan terhadap nilai harta. Apabila yang dijadikan ukuran adalah nilai harta, maka kelebihan yang terjadi tidak termasuk riba fadhl.


Sementara itu mazhab Maliki dan Syafi’iy berpendirian bahwa illat keharaman riba fadhl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah terbentuk. Oleh sebab itu, apapun bentuk emas dan perak apabila sejenis, tidak boleh diperjualbelikan dengan cara menghargai yang satu lebih banyak dari yang lain. Dalam menetapkan illat riba Nasi’ah dan riba Fadhl pada benda-benda jenis makanan terdapat perbedaan pendapat ulama mazhab Maliki dengan Syafi’i. Menurut ulama mazhab Maliki, illat jenis makanan yang terdapat dalam riba Nasi’ah dengan illat yang terdapat dalam riba Fadhl, adalah berbeda.[6]






BAB III

PENUTUP


A. KESIMPULAN


Riba adalah tambaha. Dalam agama Islam riba dilarang karna mengandung kemudorotan bagi orang lain. Didalam Al-Qur`an dan Al-Hadis Alloh sudah banyak menjelaskan tentang larangan riba dan apa balasan bagi orang yang melakukan riba. Ada 4 macam riba yaitu riba fadhl, riba nasi`ah, riba jahiliyyah, dan riba qardh. Ada berbagai macam pendapat ulama tentang riba, namun semua ulama sepakat bahwa riba diharamkan dalam agama Islam.







DAFTAR PUSTAKA


· Antonio,Syafi’e. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta; 2001, Gema Insani


· Az-zuhaili, Wahbah.Fiqih islam wa Adillatuhu.Jakarta;2011.Gema Insani


· Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002). Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1988). Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, Terj. Fadhli Bahri, Ensiklopedi Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2000).


· Sarwat,Ahmad.Fiqih Mu`amalah.



[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu jilid 5, Jakarta; 2011, Darul Fikir, hal 306


[2] Syafi’e Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta; 2001, Gema Insani , hal 37


[3] Syafi’e Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta; 2001, Gema Insani , hal 48-50


[4] Wahbah Az-zuhaili dari tafsir Qurthubi dan Majma’ul Bayaan karya Thabrasi.


[5] Syafi’e Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta; 2001, Gema Insani , hal 41


[6] Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002). Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1988). Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, Terj. Fadhli Bahri, Ensiklopedi Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2000).


















You May Also Like

0 komentar