facebook google twitter tumblr instagram linkedin
  • Home
  • Manajemen Qalbu
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
    • Category
  • Kuliah
  • Fiqih
    • Fiqih Ibadah
    • Fiqih Muamalah
  • About

Irwan Efendi

Keep Enjoying and Be Your Inspiration

Terimakasih Telah Menuntun ku Kembali
Oleh
Irwan Efendi
Add http://islamidia.com/wp-contentcaption

           Seperti malam-malam sebelumnya, Malam ini pun hujan turun lagi. Ia datang begitu saja tanpa pernah aku sadari. tidak deras memang, hanya gerimis tapi tetap saja ia sukses membuat ku luluh. Ia serasa enggan membiarkan ku keluar dan memaksaku untuk tetap memilih berdiam diri di dalam kamar ku.
        whuuuaahhh..., Aku menghela napas panjang, sambil melangkah kan kaki kearah jendela, membuka korden perlahan-lahan dan ku perhatikan, diluar tampak ada yang aneh,, biasanya gerimis selalu sukses membuat indah kerlap-kerlip lampu tanam. ternyata jendela ku berembun, pantas saja di luar tidak terlihat seperti biasanya... gumam ku. perlahan ku sentuh lembut kaca yang berembun. Dingin seketika menyergap ujung- ujung jemari ku, mengalir ke telapak tangan, menerobos deras nadi, higga tiba dihatiku.
                   Ia membekukan seluh perasaaan.
                   mengkristalkan segala angan.
                  Sudah saat nya mengakhiri cerita lama.

                                                                           ***
           Malam ini tepat satu bulan semenjak kepergiannya. ia pergi begitu saja dari kehidupan ku, ia pergi meninggalkan ku tampa pernah aku tau alasannya. Ia aku kehilangan dia, aku kehilangan orang yang ku cintai dengan sejuta harapan yang seolah ikut lenyap bersamanya. Harapan yang pernah tersusun tinggi bak piramid kini menjelma menjadi sebuah album yang bernuansa kenangan. Kehilangan inilah yang menuntunku kembali pada sebuah kesendirian.
           “Mil..., suara panggilan mama bembangunkan ku dari lamunan”
           “Iya ma”
           “Ayo.., Makan dulu sayang”
           “iya ma”, mama duluan aja, ntar milea nyusul, aku masih belum lapar. Sahut ku
Jelas saja itu hanya alibiku, sebenarnya sudah satu bulan terakhir ini aku tak lagi punya nafsu makan. Ia orang patah hati kan emang seperti itu.. 
                                                                        ***

          Weekend pun telah tiba. Setelah berhari-hari mengikuti rutinitas kampus, aku pun memutuskan hari ini menyempat kan diri untuk refreshing, mencoba mencari suasana baru yang bisa menjadi moodboster yang sudah hilang. Akhirnya keliling-keliling kota menjadi pilhan ku, main ke taman kota, mencari aneka makanan, pergi ke perpustakkan kota, mengunjungi museum rasanya sudah cukup bagiku ku untuk melepas jenuh yang kian hari kian memuncak. Tak terasa haripun kian menjelang sore, saatnya untuk pulang dan istirhat pikirku sambil mengarahkan sepeda motor ku menyusuri jalanan kota menuju arah pulang.
          Sesampai dirumah aku masih meluangkan waktuku untuk menikmati senja sembari menunggu waktu Magrib tiba. Aku duduk diatas kursi tua dihalam rumah, menyaksikan burung-burung yang beriringan pulang menuju ke peristirhatannya, ditemani angin sepoi-sepoi yang membelai mesra suasana jingga.
          Wussh... sejuknya udara yang menyapa, membuat ku terdiam sejenak
“Terimaksih tuhan, kau masih izinkan aku bernafas, hingga mampu merasakan nikmat dan keindahan yang kau beri”
“hingga mampu bertahan dari pilunya kehilangan.”
“Engkau pasti punya rencana yang jauh lebih indah.., seketika aku merasa betapa aku tak sendiri, Masih ada dia sang Kholik, Tuhan Yang Maha Esa. 

         Sirenai suara Azan mengejutkanku dari lamunan, rasanya sudah lama aku jauh dari mu ya Rabb, aku berfikir "Mungkin inilah Saatnya Aku kembali Kejalanmu". Dengan perasaan tunduk dan penuh kesyukuran Aku langkahkan kaki ku menyusuri keran Air untuk membasahi wajahku dengan wudhu. Betapa ku rasakan kesejukan yang begitu mendalam setiap kali tetesan air wudhu membasahi kulit ku, kurasan kasih sayangnya begitu besar kepada ku, hingga tak terasa linangan air mata pun ikut menetes bercampur dengan air wudhu yang jatuh dari wajah ku.

          Kulentangkan sajadah yang rasanyanya jarang sekali ku sentuh. Dalam tunduk dan bersimpuh aku curahkan segala kepedihan hati ini, dengan suara parau aku berucap:
           “Ya Rab.. Mau kah engka menerima ku kembali?.
           “Aku merindukanmu.”
         “Ya Allah, aku tahu bahwa engkaulah yang maha memiliki segalanya, jika ini adalah bagian dari cobaan yang kau berikan untuk ku, maka berikan aku kekuatan untuk mampu melewatinya.. ya Rabb..
         Rasa kehilangan yang begitu menikam relung hatiku ini membuat aku begitu mensyukuri nikmat hidup yang masih diberi. Menyadarkan aku tentang banyak hal. Bahwasanya setiap yang hidup pasti akan mati, setiap yang memiliki pasti akan kehilangan, setiap yang bahagia pasti akan menemukan kesedihan. Itu semua bukan karena kita tak pantas menikmati indahnya hidup tapi dari itu semua kita bisa merasakan indahnya hidup.
Tuhan.. Hamba Mohon jadikan kesadaran ini sebagai tumpuan bagi hamba mengikuti marka jalan mu, jalan yang ingin aku lalui untuk kembali haribaanMu..

Bantul, 8 Februari, 2018



3/21/2018 No komentar

Arti Sahabat


Mamfaat Persahabatan https://static.keepo.me//
Sahabat...
Layaknya lilin ditengah gelap gulita.
kau semburkan seberkas cahaya dalam kegelapan.
Layaknya ribuan bintang dilangit malam..
Ia tak kuasa membiarkan rembulan mengangkasa menyinari malam tanpa kawan

       Sahabat..
       Seperti Kicauan burung dipagi hari
       Ia mengisyaratkan bahwa malam telah berganti
       Seperti embun dipagi hari
       yang menyejukkan sanubari

Sahabat..
Saat Koridor-koridor itu mulai terbasahi
gelap malampun mulai menyelimuti hari
disaat itu juga kau datang membawa sejuta pelangi..

       Sahabat..
       Saat hujan luka masih menari diatas perih
       Kau hadirkan senyuman terindah buat ku..

Terimaksih sahabat..
Sudah menjadi bagian dari perjalanan hiduku..
  
Lombok, 15 April, 2014
Irwan efendi
3/21/2018 No komentar
Cinta Tak Direstui

Google Image




Tuhan..
Adilkah ini?
Kau tanamkan sebilah cinta pada hatinya dan hatiku
Namun tak pernah direstui.

Kau biarkan kami merasakan keindahan cinta, namun begitu menyakitkan
Kau biarkan kami terjerat dalam belenggu cinta yang semakin lama semakin dalam ini.
Hanya karna sebuah cinta yang tak pernah direstui
Hanya untuk merasakan indahnya getaran cinta yang amat menyiksa batin ini..

Tuhan..
Inikah yang dinamakan cinta suci?
Saat cinta tak pernah direstui
Saat keletihan mulai melanda kami
Dan segalanyapun serasa tak bersahabat lagi dengan kami
Segalanya terasa amat menyayat hati
Namun trasa aneh, cinta ini semakin lama semakin memperkuat hati kami

Walau kadang kejenuhan menerpa kokohnya cinta yang ada, namun kesetiaan dan kenangan yang pernah kita lewati menguatkan ku untuk tetap bertahan dalam sebentuk cinta yang tak direstui..



Lombok Timur, 12 Maret 2013
3/21/2018 No komentar


BAB I

PENDAHULUAN




A. Latar Belakang


Akad Mudharabah adalah akad antara pemilik modal dengan pengelola modal,dengan ketentuan bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai dengankesepakatan. Didalam pembiayaan mudharabah pemilik dana (Shahibul Maal)membiayai sepenuhnya suatu usaha tertentu. Sedangkan nasabah bertindak sebagai pengelola usaha (Mudharib).

Pada prinsipnya akad mudharabah diperbolehkandalam agama Islam, karena untuk salingmembantu antara pemilik modal dengan seorang yang pakar dalam mengelola uang. Dalam sejarah Islam banyak pemilik modal yang tidak memiliki keahlian dalam mengelola uangnya. Sementara banyak pula para pakar dalam perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Oleh karena itu, atas dasar saling tolong menolong, Islam memberikan kesempatan untuk saling berkerja sama antara pemilik modal dengan orang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu. Akad mudharabah berbeda dengan akad pembiayaan yang ada pada perbankan pada umumnya (perbankan konvensional). Perbankan konvensional pada umumya menawarkan pembiayaan dengan menentukan suku bunga tertentu dan pengembalian modalyang telah digunakan mudharib dalam jangka waktu tertentu.

Namun Akad mudharabah tidak menentukan suku bunga tertentu pada mudharib yang menggunakan pembiayaan mudharabah, melainkan mewajibkan mudharibmemberikan bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh mudharib. Pembiayaan mudharabah pada dasarnya diperuntukan untuk jenis usaha tertentu atau bisnis tertentu. Oleh karena itu, kami sebagai pemakalah akan mencoba membahas tentang mudharabah ini serta permasalahan yang ada didalamnya.



B. Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari mudharabah?

2. Apa landasan syariah dari mudharabah?

3. Sebutkan rukun, macam dan syarat mudharabah?

4. Apa hak dan batas kewenangan mudharib?

5. Apa yang dimaksud mudharah paralel?

6. Apa hak yang membatalkan akad mudharabah?


C. Tujuan Penulisan

1. Memahami dan mengetahui mudharabah beserta hukum, rukun, macam, serta syaratnya.


2. Memahami dan mengetahui mudharabah paralel.

3. Memahami dan mengetahui batas kewenangan mudharib.

4. Memahami dan mengetahui hak yang membatalkan akad mudharabah.





BAB II

PEMBAHASAN


A. Pengertian

Mudharabah berasal dari kata dharb, artinya memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang menggerakkan kakinya dalam menjalankan usaha. Mudharabah merupakan bahasa penduduk Iraq, sedangkan menurut bahasa penduduk Hijaz disebut dengan istilah disebut dengan istilah qiradh.

Secara terminologis adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola usaha (mudharib).

Keuntungan usaha yang didapatkan dari akad mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, dan biasanya dalam bentuk nisbah (persentase). Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh shahibul mal sepanjang kerugian itu bukan akibat kelalaian mudharib. Sedangkan mudharib menanggung kerugian atas upaya, jerih payah dan waktu yang telah dilakukan untuk menjalankan usaha. Namun jika kerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudharib, maka mudharib harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut [1].


B. Landasan syaria


1. إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَىٰ مِن ثُلُثَىِ ٱلَّيْلِ وَنِصْفَهُۥ وَثُلُثَهُۥ وَطَآئِفَةٌ مِّنَ ٱلَّذِينَ مَعَكَ ۚ وَٱللَّهُ يُقَدِّرُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ

عَلَيْكُمْ ۖ فَٱقْرَءُوا۟ مَا تَيَسَّرَ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ ۚ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَىٰ ۙ وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى ٱلْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ ۙ وَءَاخَرُونَ يُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ فَٱقْرَءُوا۟ مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ۚ وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَقْرِضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا ۚ وَٱسْتَغْفِرُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌۢ


Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya…. (QS: Al-Muzzammil Ayat: 20)


2. Hadis riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas

“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menaggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abba situ didengar Rasulullah, beliau membenarkannya”.

3. Hadis riwayat Ibnu Majah

“Nabi bersabda, ada tiada hal yang mengandung berkah; jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur dandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga bukan dijual”.

4. Kesepakatan ulama akan bolehnya Mudharabah dikutip dari Dr. Wahbah Zuhaily dari kitab al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuh.

5. Qiyas merupakan dalil lain yang membolehkan Mudharabah dengan mengqiyaskannya (analogi) kepada transaksi Musaqat, yaitu bagi hasil yang umum dilakukan dalam bidang perkebunan.


C. Rukun Mudharabah

1. Shahibul maal (pemilik dana)

2. Mudharib (pengelola)

3. Sighat (ijab qabul)

4. Ra’sul maal (modal)

5. Pekerjaan

6. Keuntungan



D. Syarat Mudharabah:


1. Shahibul maal dan mudharib

· Harus mampu bertindak layaknya sebagai majikan dan wakil


2. Sighat atau ijab dan qabul


· Harus diucapkan oleh kedua pihak untuk menunjukkan kemauan mereka

· Terdapat kejelasan tujuan dalam melakukan sebuah kontrak

3. Modal

Adalah jumah uang yang diberikan shahibul maal kepada mudharib untuk tujuan investasi dalam akad mudharabah.

· Diketahui jumlah dan jenisnya (mata uang)

· Disetor tunai kepada mudharib

4. Keuntungan

Adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal.

· Kadar keuntungan harus diketahui, berapa jumlah yang dihasilkan

· Keuntungan dibagi secara proporsinal kepada kedua pihak

· Proporsi (nisbah) keduanya sudah dijelaskan saat melakukan kontrak

5. Pekerjaan/usaha perniagaan

Adalah kontribusi mudharib dalam kontrak mudharabah yang disediakan sebagai pengganti untuk modal yang disediakan oleh shahibul maal.

· Usaha perniagaan adalah hak eksklusif mudharib tanpa adanya intervensi dari pihak shahibul maal

· Pemilik dana tidak boleh membatasi tindakan dan usaha mudharib

· Mudharib tidak boleh menyalahi menyalahi aturan syariah dalam usaha perniagaannya

· Mudharib harus mematuhi syarat-syarat yang ditentukan shahibul maal[2].


E. Macam Mudharabah

1. Mudharabah muthlaqah


Adalah akad kerjasama dimana mudharib diberikan kekuasaan penuh untuk mengelola modal usaha. Mudharib (pengelola) tidak dibatasi dengan tempat usaha, tujuan maupun jenis usaha.

2. Mudharabah muqayyadah


Adalah akad kerjasama dimana shahibul maal (pemilik dana) menetapkan syarat tertentu yang harus dipatuhi mudharib(pengelola), baik mengenai tempat usaha, tujuan maupun jenis usaha[3].


F. Hukum Mudharabah


Mudharabah akan dikatakan fasid jika terdapat salah satu syarat yang tidak terpenuhi. Jika semua syarat terpenuhi, maka akad mudharabah dikatakan shahih. Dalam konteks ini, mudharib diposisikan sebagai orang yang menerima titipan asset shahibul mal. Ketika mudharib melakukan pembelian, ia layaknya sebagai wakil dari shahibul mal, ia melakukan transaksi atas asset orang lain dengan mendapatkan izin darinya. Ketika mudharib mendapatkan keuntungan atas transaksi yang dilakukan, ia berhak mendapatkan bagian dari keuntungan yang dihasilkan, dan bagian lainnya milik shahibul mal. Jika mudharib mealnggar syarat yang ditetapkan shahibul mal, maka ia diposisikan sebagai orang mengghosob (menggunakan harta orang tanpa izin) dan memiliki tanggung jawab penuh atas harta tersebut.

Jika terjadi kerugian atas asset, maka ia tidak diharuskan untuk menanggung kerugian, karena ia diposisikan sebagai pengganti shahibul mal dalam menjalankan bisnis, sepanjang tidak disebabkan karena kelalaian. Jika terjadi kerugian, maka akan dibebankan kepada shahibul mal, atau dikurangkan dari keuntungan, jika terdapat keuntungan bisnis.

Jaminan dalam kontrak mudharabah merujuk pada tanggung jawab mudharib untuk mengembalikan modal kepada pemilik dana dalamsemua keadaan. Hal ini tidak dibolehkan, karena adanya fakta bahwa pegangan mudharib akan dana itu sifatnya amanah, dan orang yang diamanahkan tidak berkewajiban menjamin dana itukecuali menlanggar batas ataumenyalahi keuntungan.

Jika shahibul mal mensyaratkan kepada mudharib untuk menjamin penggantian modal ketika terjadi kerugian, maka syarat itu merupakan syarat batil dan akad tetap sah adanya, ini menurut pendapat Hanafiyah. Menurut Syafiiyyah dan Malikiyyah, akad mudharabah menjadi fasid (rusak), karena syarat tersebut bersifat kontradiktif dengan karakter dasar akad mudharabah[4].



G. BATAS KEWENANGAN MUDHARIB

Jika akad mudharabah berupa mudharabah muthlaqah, maka mudharib memiliki kewenangan penuh untuk menjalankan bisnis apa saja, dimana, kapan, dan dengan siapa saja. Karena maksud dari mudharabah adalah mendapatkan keuntungan, dan tidak akan didapatkan dengan melakukan transaksi bisnis. Mudharib diperbolehkan menitipkan aset mudharabah kepada pihak lain (bank, misalnya), karena hal ini merupakan suatu hal yang bisa dihindari. Ia juga memiliki hak untuk merekrut karyawan guna menjalankan bisnis, seperti halnya sewa gedung, alat transportasi dan lainnya yang mendukung operasional bisnis untuk mendapatkan keuntungan. Namun demikian ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan mudharib.

Ia tidak boleh melakukan withdraw (berhutang) atas aset mudharabah tanpa izin dari shahibul mal, karena hal itu akan menambah tanggungan shahibul mal. Jika shahibul mal membolehkan, maka penarikan itu menjadi hutang pribadi mudharib yang harus dibayar. Ulama malikiyah berpendapat bahwa mudharib tidak boleh membeli barang dengan utang, sekalipun pemilik modal mengizinkannya. Jika mudharib melakukannya, maka dia menanggung resiko apa yang dibelinya, keuntungannya dimiliki sendiri dan pemilik modal tidak berhak mendapat apapun darinya. Hal itu karena Nabi Muhammad saw melarang mengambil keuntungan yang tidak dijaminnya. Maka bagaimana mungkin pemilik modal mengambil keuntungan dari sesuatu yang menjadi tanggungan amil?

Mudharib juga tidak membeli aset dengan cara berhutang, walaupun mendapatkan izin dari shahibul mal. Jika mudharib tetap melakukannya, maka ia harus menanggung beban hutang itu. Namun, jika terdapat keuntungan akan menjadi miliki penuh mudharib. Shabul mal tidak berhak apapun, karena ia tidak ikut menanggung resiko. Mudharib tidak diperbolehkan menginvestasikan aset mudharbah kepada orang lain dengan akad mudharabah, melakukan akad syirkah, dicampur dengan harta pribadi atau harta orang lain, kecuali mendapatkan kebebasan penuh dari shahibul mal. Dengan adanya transaksi ini , maka akan terdapat hak orang lain atas aset shahibul mal, sehingga tidak diperbolehkan kecuali mendapatkan kesepakatan dari shahibul mal[5].


H. MUDHARABAH PARALEL

Menurut Hanafiyah, mudharib tidak diperbolehkan menyerahkan aset mudharabah kepada orang lain tanpa mendapatkan kesepaktan shahibul mal, baik hanya sebagai titipan atau diberdayakan oleh pihak ketiga (mudharib kedua). Jika aset yang diterima mudharib kedua hanya sebagai titipan, maka mudharib pertama tidak berkewajiban menanggung risiko yang ada, karena hanya diposisikan sebagai wadi’ah. Namun, jika mudharib pertama menyerahkan aset mudharabah kepada mudharib kedua dengan maksud investasi, maka mudharib pertama memiliki tanggung jawab penuh terhadap shahibul mal. Menurut Zafar, mudharib pertama bertanggung jawab penuh atas aset mudharabah, baik hanya sebagai titpan atau investasi, seperti halnya ketika kita menitipkan titipan kita kepada orang lain.

Menurut imam shahiban, jika penyerahan aset itu dimaksudkan untuk investasi, dan digunakan mudharib kedua untuk menjalankan bisnis, maka mudharib pertama bertanggung jawab penuh atas aset mudharabah. Dengan alasan, mudharib kedua menggunakan aset tanpa izin pemiliknya. Jika mudharib kedua menggunakan aset tersebut, shahibul mal memiliki dua opsi, tanggung jawab risiko aset itu dibebankan kepada mudharib pertama atau kedua. Menurut, pendapat yang shahih dari Hanafiyah, mudharib pertama bertanggung jawab penuh atas risiko aset yang diberikan mudharib kedua untuk menjalankan bisnis.

Jika terdapat keuntungan dalam mudharabah paralel ini, akan dibagi sesuai kesepakatan mudharabah pertama (antara shahibul mal dan mudharib pertama). Bagian keuntungan mudharib pertama, akan dibagi dengan mudharib kedua sesuai kesepakatan dalam akad mudharabah kedua. Ulama 4 mazhab sepakat bahwa risiko mudharabah paralel ditanggung oleh mudharib pertama[6].


I. HAK MUDHARIB

Mudharib memiliki beberapa hak dalam akad mudharabah, yakni nafkah (living cost, biaya hidup) dan keuntungan yang disepakti dalam akad. Ulama berbeda pendapat tentang hak mudharib atas aset mudharabah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik ketika dirumah atau dalam perjalanan. Menurut, imam syafi’i, mudharib tidak berhak mendapatkan nafkah atas kebutuhan pribadinya dari aset mudharabah, baik dirumah atau dala perjalanan. Karena, mudharib kelak akan mendapatkan bagian keuntungan, dan ia tidak berhak mendapatkan manfaat lain dari akad mudharabah. Nafkah ini bisa jadi nominalnya dengan bagian keuntungan, dan mudharib akan mendapatkan lebih. Jika nafkah ini disyaratkan dalam kontrak, maka akad mudharabah fasid hukumnya.

Menurut abu hanifah dan imam malik, mudharib hanya berhak mendapatkan nafkah dari aset mudharabah ketika ia melakukan perjalanan, baik biaya transportasi, makan ataupun pakaian. Madzhab hanabalah memberikan keleluasan, mudharib berhak mendapatkan nafkah pribadi, baik dirumah atau dalam perjalanan, dan boleh menjadikan syarat dalam akad.

Menurut Hanafiyah, mudharib berhak mendapatkan nafkah dari aset mudharabah untuk memenuhi kegiatan bisnis yang meliputi: makan minum, lauk pauk, pakaian, gaji karyawan, sewa rumah, listrik, telepon, transportasi, upah, cuci pakaian, begitu juga dengan biaya dokter. Semuanya ini diperlukan demi kelancaran bisnis yang dijalankan. Kadar nafkah ini harus disesuaikan dengan yang berlaku dikhalayak umum.


Biaya yang dikeluarkan oleh mudharib (dalam menjalankan bisnis) akan dikurangkan dari keuntungan, namun jika ada keuntungan, akan dikurangkan dari aset shahibul mal, dan dihitung sebagai kerugian. Jika mudharib melakukan perjalanan bisnis dan menetap selama 15 hari, maka biaya perjalanan bisnis ini diambil dari aset mudharabah. Ketika ia kembali, jika terdapat sisa biaya perjalanan, harus dikembalikan sebagai aset mudharabah. Jika mudharib menggunakan biaya pribadi maka akan menjadi hutang dan akan dikurangkan dari aset mudharabah.

Selain itu, mudharib juga berhak mendapatkan keuntungan, namun jika bisnis yang dijalankan tidak mendapatkan keuntungan, mudharib tidak berhak mendapatkan apa pun. Keuntungan akan dibagikan, setelah mudharib menyerahkan aset yang diserahkan shahibul mal (ra’sul mal) secara utuh, jika masih terdapat kelebihan sebagai keuntungan akan dibagi sesuai kesepakatan.


Menurut Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah, mudharib berhak mendapatkan bagian atas hasil bisnis, tanpa harus dihitung dari keuntungan (revenue sharing). Akan tetapi, mayoritas ulama sepakat, mudharib harus mengembalikan pokok harta shahibul mal, dan ia tidak berhak mendapatkan bagian sebelumnya menyerahkan modal shahibul mal. Jika masih terdapat keuntungan, akan dibagi sesuai kesepakatan (profit sharing).



J. HAL YANG MEMBATALKAN AKAD MUDHARABAH

a) Fasakh (pembatalan) dan larangan usaha atau pemecatan

Mudharabah batal dengan adanya fasakh dan dengan larangan usaha atau pemecatan, jika terdapat syarat fasakh dan larangan tersebut yaitu, mudharib mengetahui dengan adanya fasakh dengan larangan tersebut serta modal dalam keadaan berbentuk uang dengan pada waktu fasakh dengan larangan tersebut. Hal itu agar jelas apakah terdapat keuntungan bersama antara mudharib dan pemilik modal. Jika modal tersebut masih berbentuk barang, maka pemecatannya tidak sah. Hal ini mengakibatkan bahwa jika mudharib tidak mengetahui dengan adanya fasakh atau larangan usaha tersebut, maka usahanya diperbolehkan. Jika mudharib telah mengetahui perihal pemecatannya sedangkan modalnya masih dalam bentuk barang, maka dia boleh menjualnya untuk mengubah modal menjadi uang agar keuntngannya terlihat. Dalam hal ini, pemilik modal tidak mempunyai hak melarangnya dalam penjualan barang tersebut karena hal itu bisa menghilangkan hak mudharib.


b) Kematian salah satu pelaku akad

Jika pemilik modal atau mudharib meninggal, maka akad mudharabah menjadi batal menurut mayoritas ulama, mudharabah batal baik mudharib mengetahui perihal meninggalnya pemiliki modal maupun tidak, karena kematian mengeluarkan mudharib dari mudharabah secara hukum, maka tidak bergantung pada pengetahuannya.

c) Salah satu pelaku akad menjadi gila

Mudharabah batal menurut ulama selain syafi’iyah dengan gilanya salah satu pelaku akad, jika gilanya itu gila permanen, karena gila membatalkan sifat ahliyah (kelayakan/kemampuan). Adapun pelarangan membelanjakan harta bagi mudharib karena bodoh atau idiot, maka menurut ulama Hanafiyah mudharib tidak keluar dari mudharabah, karena dalam keadaan itu dianggap seperti anak kecil yang belum balig (mumayyiz). Menurut mereka, anak yang mumayyiz memiliki sifat ahliyah (kelayakan/kemampuan) untuk menjadi wakil dari orang lain, maka dengan demikian juga dengan orang yang bodoh.

d) Murtadnya pemilik modal

Jika pemilik modal murtad dari agama islam lalu mati atau terbunuh dalam keadaan murtad, atau ia masuk ke negeri musuh dan hakim telah mengeluarkan keputusan tentang perihal masuknya ke negeri musuh tersebut, maka mudharabahnya batal semenjak hari murtadnya menurut ulama Hanafiyah. Hal itu karena masuk ke negeri musuh sama kedudukannya dengan kematian, dan itu menghilangkan sifat ahliah (kemapuan/kelayakan) Pemilik modal, dengan dalil bahwa orang yang murtad itu hartanya boleh dibagikan kepada para ahli warisnya.

e) Rusaknya modal mudharabah ditangan mudharib

Jika modal rusak ditangan mudharib sebelum dibelanjakan sesuatu, maka mudharabahnya batal. Pasalnya, modal menjadi spesifik untuk mudharabah dengan adanya penerimaan barang, sehingga akadnya batal dengan rusaknya modal. Demikian juga akad mudharabah batal dengan digunakannya modalnya oleh mudharib, dinafkahkan atau diberikan pada orang lain kemudian digunakan oleh orang tersebut, hingga mudharib tidak memiliki hak untuk membeli sesuatu untuk mudharabah. Jika mudharib mengganti modal yang digunakannya, maka dia dapat membelanjakan kemabali modal tersebut untuk mudhrabah.




BAB III

KESIMPULAN




Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Rukun-rukun mudharabah yaitu pemilik modal (shahibul mal), pengelola(mudharib); objek yang diakadkan (modal, jenis usaha, keuntungan), dan shigat (akad). Hukum mudharabah berbeda-beda, karena adanya perbedaan-perbedaan keadaan, maka kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah (qiradh) juga tergantung kepada keadaan. Karena pengelola modal perdagangan mengelola modal tersebut atas izin pemilik harta, maka pengelola modal adalah wakil dari pemilik barang tersebut dalam pengelolaannya. Jika pemilik modal meninggal dunia, maka mudharabah menjadi fasakh(batal), bila mudharabah telah fasakh, maka pengelola modal tidak berhakmengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertindak menggunakan modaltersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik modal telah meninggal dantanpa izin para ahli waris, maka perbuatan seperti ini dianggap sebagai ghasab.






DAFTAR PUSTAKA



Az-zuhaili, wahbah, 2011, Fiqih islam wa adillatuh. Jakarta. Gema insane.

Djuwaini, dimyauddin, 2010, Pengantar fiqih muamalah. Yogyakarta. Pustaka belajar.

Mas’adi, Gufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta. Rajawali Pers. Muhammad Ruswan Qal’ah Gie, 1999, Al Muamalat al-Maaliyah al-Mu’ashirah fi Dlaui al Fiqh wa asy-Syariah. Daar an Nafais. Beirut.


[1]Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-islam wa Adillatuhui Damakus. Daar al-Fikr, Jilid IV, 1989, hlm. 836.


[2] Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-islam wa Adillatuhui Damakus. Daar al-Fikr, Jilid IV, 1989, hlm. 848-851.


[3] Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-islam wa Adillatuhui Damakus. Daar al-Fikr, Jilid IV, 1989, hlm. 840.


[4] Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-islam wa Adillatuhui Damakus. Daar al-Fikr, Jilid IV, 1989, hlm. 854.


[5] Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-islam wa Adillatuhui Damakus. Daar al-Fikr, Jilid IV, 1989, hlm. 855-858.


[6] Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-islam wa Adillatuhui Damakus. Daar al-Fikr, Jilid IV, 1989, hlm. 858-861.
1/04/2018 No komentar
http://www.assalamconsultant.com/v3/wp-content/uploads/

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya didunia islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang muslim dari Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedianya, tidak diberlakukan di negeri islam manapun.

Disisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang.

Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur`an Surat Al-Baqarah 275: padahal Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ... pandangan ini juga mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti di perbankan konvensional, karna menurut sebagian pendapat ulama, bunga bank termasuk riba.


B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian riba?

2. Apakah dasar dilarangnya riba dalam islam?

3. Sebutkan dan jelaskan macam-macam riba klasik?

4. Bagaimanakah pendapat ulama tentang riba nasi`ah dan riba fadhl?


C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini yaitu untuk lebih mengetahui dan memahami secara mendalam tentang riba. Sebagai mana kita ketahui riba sering disalah gunakan dalam bermu`amalah, bukan hanya oleh masyarakat yang masih awam tentang riba namun pihak-pihak yang telah mengetahuai tentanh hukum riba pun masih menggunakanya untuk memperoleh keuntungan.





BAB II

PEMBAHASAN


A. Pengertian Riba

Riba secara bahasa berarti tambahan. Allah berfirman: “Kemudian apabila telah kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tumbuhan yang indah.” (Al-Hajj:5) maksudnya, bertambah dan berkembang.[1]

Riba secara bahasa adalah Az-Ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Menurut Istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.[2] Dalam buku Fiqh Islam Wahbah Az-Zuhaili, riba didefinisikan sebagai tambahan pada barang-barang tertentu. Menurut ulama Hambali. Dalam kitab Kanzul Ummaal, sebuah kitab dalam madzhab Hanafi, riba diartikan sebagai tambahan tanpa imbalan dalam transaksi harta dengan harta. Maksud tambahan disisni adalah tambahan harta meski secara hukmi saja, sehingga definisi ini mencakup riba nasiah dan jenis-jenis akad jual beli yang fasid (rusak).

Dari banyak pengertian Riba menurut para Ulama, bisa diambil kesimpulan bahwa riba adalah mengambil tambahan dari harta orang lain secara batil. Biasanya praktek riba terjadi saat pemberian hutang atau pinjaman, bisa terjadi juga ketika melakukan tukar-menukar barang.


B. Larangan Riba dalam Islam

Larangan riba dalam Al-Qur`an:

Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak turun sekaligus, melainkan diturunkan dengan empat tahap.[3]

Tahap pertama, menolak anggapan bahwa peminjaman riba pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT.

Dalam firman Allah:

"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).(Q.S Ar-Ruum :39)

Tahap kedua, Riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang yahudi yang memakan riba.

Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.(An-Nisaa : 160-161)

Tahap ketiga, riba diharamkan dengan kaitan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli Tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(Q.S Ali Imran 130 )


Ayat ini turun pada tahun ke 3 H. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bungan berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu.

Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surat Al-Baqarah yang turun pada tahun ke 9 H

Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari jenis pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(Q.S. Al-Baqarah 2:278-279)

Mengenai Larang Riba, Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(Q.S An-Nisaa :29)


Dari ayat diatas, sudah jelas bahawa Allah melarang memakan harta sesama manusia dengan jalan yang batil, dalam hal ini adalah Riba.

Menurut Dr. WahbahAz-Zuhaili; riba diharamkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah: 275)

Dalam ayat tersebut Allah membalas bangsa Arab jahiliyah yang mengatakan bahwa jual beli yang tidak mengandung riba adalah sama seperti jual beli yang mengandung riba. Maksudnya, tambahan harta yang diberikan pada waktu penyerahan barang setelah adanya penangguhan adalah seperti bagian dari harga barang pada awal akad. Maka Allah menjelaskan perbedaan antara kedua kad tersebut, yaitu bahwa tambahan pada salah satu akad adalah untuk menangguhkan utang dan pada akad yang lain untuk jual beli. Selain itu, akad jual beli adalah bagian dari imbalan, karena harga barang merupakan pengganti dari barang yang diberikan. Sedangkan riba merupakan tambahan tanpa imbalan sebagai konsekuensi atas penangguhan waktu, atau merupakan tambahan dalam jenis barang.[4]


Adapun sunnah, dalam sebuah hadits mengenai tujuh hal yang merusak (as-sab’ul muwbiqaat) disebutkan bahwa salah satunya adalah pemakan riba. Diriwayatkan juga dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Rasulullah melaknat pemakan riba, saksinya dan penulisnya.”

Umat Islam sepakat bahwa riba diharamkan. Mawardi berkata, “Bahkan dikatakan bahwa riba tidak pernah dibolehkan dalam syariat apapun.” Hal ini sesuai firman Allah, “Dan disebabkan mereka memakan riba padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya.” (an-Nisaa’:161) Maksudnya mereka dalam kitab-kitab suci terdahulu.


C. Macam-macam Riba Klasik


Menurut pendapat sebagian ulama, riba itu ada empat macam:

· Riba Fadli = Pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

Harta yang dapat mengandung riba sebagaimana disebutkan dalam hadits nabawi, hanya terbatas pada emas, perak, gandung, terigu, kurma dan garam saja. Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, kurma dengan kurma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim).

Di luar keenam jenis barang itu tentu boleh terjadi penukaran barang sejenis dengan kadar dan kualitas yang berbeda. Apalagi bila barang itu berlainan jenisnya. Tentu lebih boleh lagi.


* Emas : Barter emas dengan emas hukumnya haram,


bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, emas 10 gram 24 karat tidak boleh ditukar langsung dengan emas 20 gram 23 karat. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.


* Perak : Barter perak dengan perak hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, perak 100 gram dengan kadar yang tinggi tidak boleh ditukar langsung dengan perak200 yang kadarnya lebih rendah. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.


*Gandum : Barter gandum dengan gandum hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda.Misalnya, 100 Kg gandum kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg gandum kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.


* Terigu : Demikian juga barter terigu dengan teriguhukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg terigu kualitas nomor satu tidak boleh.ditukar langsung dengan 150 kg terigu kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.


* Kurma : Barter kurma dengan kurma hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 1 Kg kurma ajwa (kurma nabi) tidak boleh ditukar langsung dengan 10 kg kurma Mesir. Kecuali setelah dikonversikanterlebih dahulu masing-masing benda itu


* Garam



· Riba Qardh = Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).


· Riba Nasi’ah = Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam Nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.

· Riba Jahiliyyah = Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditentukan.[5] Sebagian ulama menyamakan riba nasi`ah dengan riba jahiliyyah.


Contoh : Ahmad ingin membangun rumah. Untuk itu dia pinjam uang kepada bank sebesar 144 juta dengan bunga 13 % pertahun. Sistem peminjaman seperti ini, yaitu harus dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya, maka transaksi ini adalah transaksi ribawi yang diharamkan dalam syariat Islam.


D. Pandangan Ulama Tentang Riba Nasi`ah dan Riba Fadhl


1. Madzhab Hanafi


Riba fadhl menurut ulama Hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar atau ditimbang serta barang yang sejenis seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering. Dengan kata lain jika barang-barang yang sejenis dari barang-barang yang telah disebut di atas seperti gandum dengan gandum ditimbang untuk diperjualbelikan dan terdapat tambahan dari salah satunya, terjadilah riba fadhl.


Adapun jual beli pada selain barang-barang yang ditimbang seperti hewan, kayu dan lain-lain tidak dikatakan riba meskipun ada tambahan dari salah satunya seperti menjual 1 ekor kambing dengan 2 ekor kambing sebab tidak termasuk barang yang bisa ditimbang. (Alauddin al-Khuskhafi, Ad-Durul Mukhtar, juz 4, hal. 185)


Ulama Hanafiyah mendasarkan pendapat mereka pada hadits shahih Said al-Khudri dan Ubadah ibn Shanit ra bahwa Nabi Saw bersabda, “emas dengan emas, keduanya sama (mitslan bi mitslin), tumpang terima (yadan bi yadin), (apabila ada) tambahan adalah riba, perak dengan perak, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, gandum dengan gandum, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, sya’ir dengan sya’ir, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, kurma dengan kurma, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba”.


Di antara hikmah diharamkannya riba adalah untuk menghilangkan tipu menipu di antara manusia dan juga menghindari kemudharatan. Asal keharamannya adalah Sadd Adz-Dzara’i (menurut pintu kemudharatan).


Namun demikian tidak semuanya berdasarkan sadd adz-dzara’i tetapi ada pula yang betul-betul dilarang seperti menukar barang yang baik dengan yang buruk sebab hal yang keluar dari ketetapan harus adanya kesamaan (mitslan bi mitslin).


Riba nasi’ah adalah adanya salah satu dari 2 sifat yang ada pada riba fadhl dan pembayarannya diakhirkan. Riba jenis ini telah biasa dikerjakan oleh orang jahiliyah seperti seseorang membeli 2 kg gandum pada bulan Muharram dan akan dibayar menjadi 2,5 kg gandum pada bulan Safar.


Definisi riba al-nasi’ah menurut beberapa ulama:


Menurut Wahbah al-Zuhaily, riba Nasi’ah adalah penambahan harga atas barang kontan lantaran penundaan waktu pembayaran atau penambahan ‘ain (barang kontan) atas dain (harga utang) terhadap barang berbeda jenis yang di timbang atau ditakar atau terhadap barang sejenis yang tidak ditakar atau ditimbang.


Menurut Abdur Rahman al-Zajairi, riba Nasi’ah adalah riba atau tambahan (yang dipungut) sebagai imbangan atas penundaan pembayaran”.


Menurut Sayid Sabiq, riba Nasi’ah ialah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh orang yang menghutangi dari orang yang berhutang, sebagai imbangan atas penundaan pembayaran utangnya. Misalnya si A pinjam satu juta rupiah kepada si B dengan janji setahun waktu pengembaliaan utangnya. Setelah jatuh temponya, si A belum bisa mengembalikan utangnya kepada si B, maka si A menyanggupi untuk memberi tambahan dalam pembayaran utangnya jika si B mau menambah/ menunda jangka waktunya; atau si B yang menawarkan kepada si A, apakah A mau membayar utangnya sekarang, ataukah ia mau minta ditangguhkan dengan memberikan tambahan. Inilah praktek jahiliyah yang kemudian dilarang oleh Islam. Karena itu, riba nasiah juga disebut riba jahiliyah.


Disimpulkan dua macam (kasus) riba Nasi’ah. Pertama, penambahan dari harta pokok sebagai kompensasi penundaan waktu pembayaran. Kedua, penundaan penyerahan salah satu dari barang yang dipertukarkan dalam jual beli barang ribawi yang sejenis.


Definisi riba al-Fadhl menurut beberapa ulama:


Menurut Sayid Sabiq, yang dimaksud dengan riba Fashl adalah jual beli emas atau perak, atau jual beli bahan makanan dengan bahan makanan yang sejenis dengan ada tambahan.


Menurut Wahbah Zuhaily, yang dimaksud dengan riba Fadhl adalah penambahan pada salah satu dari benda yang ditertukarkan dalam jual beli benda ribawi yang sejenis, bukan karena faktor penundaan pembayaran.


Dalam membahas riba Fadhl terdapat dua term yang memerlukan pembahasan lebih lanjut, yakni benda ribawi dan sejenis. Para fuqaha sepakat bahwasannya riba fadhl hanya berlaku pada harta ribawi. Mereka juga sepakat terhadap tujuh macam harta benda sebagai harta benda ribawi karena dinyatakan secara tegas dalam nash hadits. Ketujuh harta benda tersebut adalah: (1) emas, (2) perak, (3) burr, jenis gandum, (4) syair, jenis gandum, (5) kurma, (6) zabib, anggur kering, dan (7) garam. Selain tujuh macam harta benda tersebut fuqaha berselih pandangan.


Meurut fuqaha mazhab Hanafiyah persamaan jenis meliputi tiga hal: (1). Persamaan asal, seperti beras dan tepung beras adalah sejenis, sedangkan tepung beras dengan tepung terigu adalah berbeda jenis. (2). Persamaan fungsi dan kegunaannya, misalnya daging gibas dan daging kambing adalah sejenis, sedangkan wool yang terbuat dari kulit gibas dan kulit kambing adalah berbeda jenis. (3). Tidak mengandung produktivitas kerja manusia, misalnya gandum dan roti yang terbuat dari gandum adalah berbeda jenis.


Para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam mengqiyaskan apa saja yang mempunyai makna dan illat dengan jenis harta benda diatas dari apa saja yang bisa ditakar, ditimbang, dimakan, dan disimpan, misalnya seluruh biji-bijian, minyak, madu, dan daging. Sa’id bin al-Musayyib berkata, “tidak ada riba kecuali pada apa yang bisa ditakar dan ditimbang dari apa saja yang bisa dimakan dan diminum”.


Berbagai pendapat tentang dua macam jenis riba dikalangan para ulama fikih. Menurut ulama mazhab Hanafi dalam salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, riba Fadhl ini hanya berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukan terhadap nilai harta. Apabila yang dijadikan ukuran adalah nilai harta, maka kelebihan yang terjadi tidak termasuk riba fadhl.


Sementara itu mazhab Maliki dan Syafi’iy berpendirian bahwa illat keharaman riba fadhl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah terbentuk. Oleh sebab itu, apapun bentuk emas dan perak apabila sejenis, tidak boleh diperjualbelikan dengan cara menghargai yang satu lebih banyak dari yang lain. Dalam menetapkan illat riba Nasi’ah dan riba Fadhl pada benda-benda jenis makanan terdapat perbedaan pendapat ulama mazhab Maliki dengan Syafi’i. Menurut ulama mazhab Maliki, illat jenis makanan yang terdapat dalam riba Nasi’ah dengan illat yang terdapat dalam riba Fadhl, adalah berbeda.[6]






BAB III

PENUTUP


A. KESIMPULAN


Riba adalah tambaha. Dalam agama Islam riba dilarang karna mengandung kemudorotan bagi orang lain. Didalam Al-Qur`an dan Al-Hadis Alloh sudah banyak menjelaskan tentang larangan riba dan apa balasan bagi orang yang melakukan riba. Ada 4 macam riba yaitu riba fadhl, riba nasi`ah, riba jahiliyyah, dan riba qardh. Ada berbagai macam pendapat ulama tentang riba, namun semua ulama sepakat bahwa riba diharamkan dalam agama Islam.







DAFTAR PUSTAKA


· Antonio,Syafi’e. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta; 2001, Gema Insani


· Az-zuhaili, Wahbah.Fiqih islam wa Adillatuhu.Jakarta;2011.Gema Insani


· Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002). Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1988). Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, Terj. Fadhli Bahri, Ensiklopedi Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2000).


· Sarwat,Ahmad.Fiqih Mu`amalah.



[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu jilid 5, Jakarta; 2011, Darul Fikir, hal 306


[2] Syafi’e Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta; 2001, Gema Insani , hal 37


[3] Syafi’e Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta; 2001, Gema Insani , hal 48-50


[4] Wahbah Az-zuhaili dari tafsir Qurthubi dan Majma’ul Bayaan karya Thabrasi.


[5] Syafi’e Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta; 2001, Gema Insani , hal 41


[6] Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002). Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1988). Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, Terj. Fadhli Bahri, Ensiklopedi Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2000).


















1/03/2018 No komentar






Ibnul Qoyyim -rohimahulloh- mengatakan:


Di dalam diri manusia ada dua kekuatan:

* kekuatan dalam melakukan sesuatu dan

* kekuatan dalam meninggalkan sesuatu.


Dan hakekat kesabaran adalah menjadikan kekuatan dalam melakukan sesuatu untuk melakukan hal yang bermanfaat baginya dan menjadikan kekuatan dalam meninggalkan sesuatu untuk meninggalkan hal yang membahayakan baginya.

Dan diantara manusia ada orang yang kekuatan sabarnya dalam melakukan sesuatu yang bermanfaat... lebih besar daripada sabarnya dalam meninggalkan sesuatu yang membahayakan baginya, sehingga dia mampu bersabar dalam menghadapi beratnya ketaatan, tapi dia tidak sabar dari ajakan hawa nafsu untuk melakukan apa yang terlarang baginya.

Diantara mereka ada orang yang kekuatan sabarnya dalam meninggalkan larangan lebih besar daripada kekuatan sabarnya dalam menghadapi beratnya ketaatan.

Diantara mereka ada juga yang tidak memiliki kesabaran, baik terhadap ini maupun itu.

Dan orang yang paling afdhol adalah orang yang paling sabar dalam dua jenis kesabaran ini.

Oleh karena itu, ada banyak orang yang sabar dalam berjuang untuk bangun malam di musim panas maupun musim dingin, dan sabar terhadap beratnya puasa, namun dia tidak sabar terhadap pandangan yang diharamkan.

Banyak pula orang yang sabar terhadap pandangan yang diharamkan... tapi dia tidak sabar dalam beramar ma'ruf nahi munkar serta berjihad melawan kaum kuffar dan kaum munafikin, bahkan (bisa jadi) dia orang yang paling lemah dalam hal ini.

Dan kebanyakan orang tidak memiliki kesabaran terhadap salah satu dari kedua jenis kesabaran ini. Sedang yang paling sedikit adalah orang yang memiliki kesabaran dalam keduanya


 Ust. DR. Musyaffa Ad Dariny, MA حفظه الله تعالى










11/26/2017 No komentar

Pemuda Ayo Bangun Desa Kita...


MENARIK.... Satu kata untuk mengungkapkan pembangunan sebuah desa, karna desa adalah harapan kemajuan sebuah bangsa. Paradigma yang selama ini menganggap masyarakat desa adalah tertinggal, dan untuk sukses haruslah merantau ke kota besar. Paradigma tersebut harus bisa ditinggalkan. Oleh karna itu paradigma tersebut harus segera ditinggalkan dan membangun sebuah desa adalah harga mati yang harus segera direlisasikan.

Semua elemen desa beserta semua masyarakat harus bersinergi bersama-sama mewujudkan pembangunan desa yang arif dan bijaksana. Dan potensi yang tepat untuk menjadi penggerak desa adalah pemuda. Pemuda adalah peradaban sebuah bangsa. Untuk membangun sebuah peradaban, sudah saatnya pemuda menjadi lokomotif perubahan itu, agar menjadi desa yang madani.

Maka tidaklah heran jika Bung Karno sang proklamator menempatkan pemuda pada garda terdepan. Dengan sebuah kalimat yang pasti sudah pernah kita dengar atau kita lihat. “Berikan aku 100 orang tua, maka akan aku cabut gunung semeru, dan berikanlah aku 10 pemuda, maka akan aku guncangkan dunia”, kata beliau kala itu



Pemuda Pemudi Aikperapa/ Group Fb Pemuda Pemudi Bsopoq Aikperapa


Kemajuan sebuah desa sulit dilepaskan dari keberadaan para pemudanya. Pemuda adalah aset masa depan. Pemuda adalah sumber energi atau kekuatan terbangunnya sebuah peradaban desa. Perannya sangat dibutuhkan guna melejitkan dinamika kehidupan desa.

Kata-kata tersebut bukan merupakan ungkapan yang tiada makna. Pujian-pujian Bung Karno terhadap para pemuda sangat bernada optimis. Dan telah mengindikasikan bahwa pemuda memiliki kelebihan tersendiri.

Namun, nada optimisme tersebut tampak mulai sumbang. Pemuda yang diharapkan menjadi motor penggerak kemajuan bangsa, justru melakukan tindakan yang jauh dari leluhur nenek moyang. Terkubang dalam godaan pergaulan bebas, yang menjurus pada seks bebas, narkoba dan sejenisnya, tawuran, dan tindakan yang kurang membangun. Dengan kata lain, para pemuda tidak jarang dipandang sebagai perusak tatanan hidup bermasyarakat.

Dalam membangun sebuah desa, tugas pemuda tidaklah gampang. Karena permasalahan desa yang begitu kompleks, pemuda harus mampu menciptakan formula yang tepat. Ramuan formula ini, berguna agar semangat perubahan dalam membangun desa tidak terbentur dengan kultur dan adat istiadat desa. Bukan tidak mungkin, ada miss persepsi cita-cita antara kaum tua dan pemuda desa itu sendiri. Seperti Bung Karno kala menentukan proklamasi kemerdekaan.

Menjadi penggerak desa, pemuda harus mampu bersinergi dan bekerja sama. Hal itu tidaklah mudah, karena membutuhkan komitmen yang kuat sebuah kebersamaan yang produktif. Bukan hanya istilah “makan nggak makan kumpul”. Akan tetapi lebih dari itu untuk sebuah cita-cita yang luhur.


 Pemuda Aikperapa/ Group Fb Pemuda Pemudi Bsopoq Aikperapa

Perangkat desa selama ini berkesan kurang kuasa dalam melakukan terobosan-terobosan baru, dalam memajukan desanya melalui organisasi pemuda desa. Lebih dari itu, keterlibatan pemuda desa yang tergerakkan dalam organisasi, akan menjadi kekuatan tak terpatahkan. Mereka mampu menjadi perangsang bagi program kerja yang telah dirumuskan oleh perangkat desa.

Atas dasar itu, pemuda terdidik haruslah menjadi garda terdepan. Dia harus menjadi satria pelopor perubahan desa. Ia juga yang mesti menjadi teladan bagi para pemuda yang secara pendidikan terbilang rendah. Ketika pemuda yang berpendidikan lebih tinggi dan berpendidikan rendah berkumpul, akan terjadi gesekan pembaharuan yang sangat bermanfaaat.

Mereka tidak akan menyerah begitu saja. Pemuda memiliki idealisme yang kuat dalam pembangunan desanya. Membentuk dan nguri-uri organisasi bukanlah perkara yang mudah. Dibutuhkan semangat persatuan, agar saling bahu membahu memajukan organisasi. Dilain sisi, dengan berorganisasi pemuda akan ada masalah baru. Seperti, pengakuan dan eksistensi oleh masyarakat, terarahnya kegiatan yang masif dan bukan kegiatan hura-hura semata, dan pendanaan organisasi sehingga mencukupi kebutuhan organisasi dalam menjalankan programnya.

Untuk itu, perlu adanya langkah-langkah yang bisa diambil dalam rangka memperkokoh perjuangan pemuda dalam membangun desa, antara lain :

Bersinergi dengan para sesepuh desa dan perangkat desa. Hal ini sangatlah perlu karena dalam sebuah desa sudah ada tatanan dan perundang-undangan baik yang tertulis maupunyang tidak tertulis.

Keterlibatan perangkat desa. Hal ini diperlukan karena menjadi cambuk penyemangat tersendiri bagi pemuda.

Membentuk dan atau menghidupkan organisasi yang ada. Organisasi berbeda dengan komunitas. Komunitas sewaktu-waktu bisa bubar. Organisasi mempunyai sistem manajerial dan administrasi serta kegiatan yang terarah dan terevaluasi.

Pengakuan dari masyarakat juga diperlukan. Organisasi yang baik harus jelas, terdaftar dan dikenal oleh masyarakat.

Memperkuat unsur pendanaan organisasi. Disamping semangat membangun, pendanaan merupakan ruh yang menggerakkan roda organisasi. Dana dapat diperoleh dari mana saja selagi baik dan tidak merugikan orang/pihak lain serta yang diperbolehkan oleh aturan agama dan negara.

Untuk mewujudkan semua itu, pemuda atau organisasi pemuda harus mampu membuat peta jalan (Road Map), semacam grand desain. Agar program pembangunan desa oleh pemuda dapat berjalan maksimal dan bermanfaat buat masyarakat. Dan yang terpenting , dapat merangkul semua elemen desa untuk berjuang bersama pemuda membangun desa itu sendiri. Karena pemuda tidak akan mampu berjalan sendiri.

Tim penggerak pembangunan desa harus mampu membuat program-program. Dan berdasarkan pada permasalahan yang ada, membuat konsep, serta mencari solusi yang telah ditentukan bersama. Program-program harus terarah, terukur, dan transparan. Desa yang maju adalah harapan semua masyarakat. Desa madani adalah awal peradaban bangsa yang madani. Maka pemuda adalah harapan sebuah kemajuan desa

Artkel disadur dari Vebma.com
10/30/2017 No komentar
Older Posts

About me


Kenalin nama Irwan Efendi, Asal dari Lombok Nusa Tenggara Barat.
Pengangum Senja, Penggemar Arsenal (Gooners) dan penyuka Gorengan :)



Follow Us

recent posts

Blog Archive

  • ▼  2018 (5)
    • ▼  Maret (3)
      • Terimakasih Telah Menuntun ku Kembali
      • Arti Sahabat
      • Cinta Yang Tak Direstui
    • ►  Januari (2)
  • ►  2017 (33)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (23)
    • ►  September (9)
FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates