Makalah Sistem Pembiayaan Bank Syariah
Sistem Pembiayaan Bank Syariah
A. Pengertian
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok
bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan
pihak-pihak yang merupakan defisit unit.
Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal berikut:
1. Pembiayaan
produktif, yaitu pembiayaan yang ditunjukkan untuk
memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk meningkatkan usaha,
baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
2.
Pembiayaan
konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut keperluannya, pembiayaan
produktif dapat dibagi menjadi dua hal berikut :
1.
Pembiayaan
modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi
kebutuhan :
a. Peningkatan
produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara
kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi,
b. Untuk
keperluan perdagangan atau peningkatan utility
of place dari suatu barang.
2.
Pembiayaan
investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan
barang-barang modal (capital goods) serta
fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.
B. PEMBIAYAAN MODAL KERJA
Unsur-unsur modal kerja
terdiri atas komponen-komponen alat likuid (cash),
piutang dagang (receivableI), dan
persediaan (inventory) yang umumnya terdiri atas persediaan bahan baku ( raw
material), persediaan barang dalam proses (work in process), dan persediaan
barang jadi (finished goods). Oleh karena itu, pembiayaan modal kerja merupakan
salah satu atau kombinasi dari pembiayaan likuiditas (cash financing),
pembiayaan piutang (receivable financing), dan pembiayaan persediaan (inventory
financing).
Bank konvensional
memberikan kredit modal kerja tersebut, dengan cara memberikan sejumlah
pinjaman sejumlah uang yang dibutuhkan untuk mendanai seluruh kebutuhahn yang
merupakan kombinasi dari komponen-komponen modal kerja tersebut, baik untuk
keperluan produksi maupun perdagangan untuk jangka waktu tertentu, dengan
imbalan berupa bunga.
Bank syariah dapat
membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja tersebut bukan dengan
meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan
nasabah, di mana bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal),
sedangkan nasabah sebagai pengusaha (mudharib). Skema pembiaayaan semacam ini
disebut dengan mudharabah (trust financing). Fasilitas ini dapat diberikan
untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodic dengan
nisbah yang disepakati. Setelah jatuh
tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil
(yang belum dibagikan) yang menjadi bagian bank.
Pembiayaan ini pada
umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya
ketidak sesuaian (mismatched) antara cash inflow dan cash outflow pada
perusahaan nasabah. Fasilitas yang biasanya diberikan oleh bank konvensional
adalah fasilitas cerukan (overdraft facilities) atau yang biasa disebut kredit
rekening koran. Atas pembiayaan fasilitas ini, bank memperoleh imbalan manfaat
berupa bunga atas jumlah rata-rata pemakian dana yang disediakan dalam
fasilitas tersebut
bank syariah dapat
menyediakan fasilitas semacam itu dalam bentuk qardh timbal balik atau yang
disebut dengan compensating balance. Melalui fasilitas ini, nasabah harus
membuka rekening giro dan bank bank tidak memberika bonus atas gito tersebut.
Bila nasabah mengalami situasi mismatched, nasabah dapat menarik dana melebihi
saldo yang tersedia sehingga menjadi negative sampai maksimum jumlah yang
disepakati dalam akad. Atas fasilitas ini, bank tidak dibenarkan meminta
imbalan apapun kecuali sebatas biaya administrasi pengelolaan fasilitas tersebut.
Kebutuhan pembiayaan
ini timbul pada perusahaan yang menjual barangnya dengan kredit, tetapi baik
jumlah maupun jangka waktunya melebihi kapasitas modal kerja yang dimilikinya.
Bank konvensional biasanya memberikan fasilitas berupa hal-hal berikut:
a.
Pembiayaan
piutang (receivable financing)
Bank memberikan
pinjaman dana kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan dana karena masih
tertanam dalam piutang. Atas pinjaman itu, bank meminta cessie atas tagihan nasabah
tersebut.
b.
Anjak
piutang (factoring)
Fasilitas ini diberikan oleh bank dalam bentuk
pengambil alihan piutang nasabah. Untuk keperluan tersebut, nasabah
mengeluarkan draf (wesel tagih) yang diaksep oleh pihak yang berutang atau
promissory notes (promes) yang diterbitkan oleh pihak yang berutang, kemudian
di-endors oleh nasabah draf atau promes tersebut lalu dibeli oleh bank dengan
diskon sebesar tingkat bunga yang berlaku atau disepakati untuk jangka waktu
yang tertera pada draf atau promes tersebut. Bila pada saat jatuh tempo draf
atau promes tersebut ternyata tidak tertagih, nasabah wajib membayar kepada
bank sebesar nilai nominal draf tersebut
3. Pembiayaan Persediaan (
Inventory Financing )
Bank Syariah mempunyai
mekanisme tersendiri untuk memenuhi kebutuhan pendaaan persediaan tersebut,
yaitu antara lain dengan menggunakan prinsip jual beli dalam dua tahap. Tahap
pertama bank mengadakan ( membeli dari supplaier secara tunai ) barang-barang
yang di butuhkan oleh nasabah.Tahap kedua, bank menjual kepada nasabah pembeli
dengan pembayaran tangguh dan dengan mengambil keuntungan yang di sepakati
bersama antara bank dan nasabah. Ada beberapa skema jual beli yang di
pergunakan untuk meng-approach kebutuhan tersebut, yaitu sebagai
berikut.
a.
Ba’i
Murabahah
Pembiayaan persediaan
dalam usaha produksi terdiri atas biaya pengadaan bahan baku dan penolong.
Melalui proses produksi, bahan baku tersebut akan menjadi bahan setengah jadi,
kemudian menjadi barang jadi yang siap untuk
di jual. collection barang jadi
itu di jual dengan kredit, ia bebrubah mnejadi piutang dan proses collection
akan berubah menjadi kas kembali.
Contohnya : Seseorang
nasabah datang ke LKS untuk mengajukan pembiayaan KPR. Kemudian bank membeli
sesuai dengan spesifikasi yang di minta nasabah. Setelah di miliki bank, banks
menjual lagi kepada nasabah dengan cara kredit dan presentasi harga yang di
ketahui oleh kedua belah pihak. Dan apabila ada denda keterlambatan maka tidak
di kenakan biaya/denda.
b.
Ba’i
al-Itishna
Akad ini bahwasanya
bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang di sepakati kedua belah pihak
( biasanya sebesar biaya produksi di tambah keuntungan bagi produsen, tetapi
lebih rendah dari harga jual ) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap,
sesuai dengan tahap-tahap proses produksi.
Dan dalam akad ini nasabah dan bank memiliki khiyar ( pilihan ) di mana
kedua boleh pihak berhak untuk melanjutkan transaksi dan tidak sesuai keinginan
masing-masing.
c.
Ba’i
Salam
Untuk produksi yang
prosesnya tidak dapat di ikuti, seperti produksi pertanian bank dapat
memberikan fasilitas ba’i as-salam. Melalui fasilitas ini ank melakukan
pemesanan barang kepada nasabah dengan pembayaran di muka secara sekaligus dan
nasabah berkewajiban men-deliver barang tersebut pada tanggal yang di sepakati
dalam kontrak. Pada waktu yang bersamaan bank dapat pembeli atas produk
tersebut[1]
[1] .
AAOIFI, Accounting and Auditing Organisation
for Islamic Financial Instituation, Bahrain.
C.
JENIS KEBIJAKAN BANK SYARIAH
Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) telah menyusun outlook dan
arah kebijakan perbankan syariah 2015, melibatkan pemangku kepentingan terkait.
Berikut adalah arah kebijakan perbankan syariah tahun 2015 yang tertuang dalam
Laporan Triwulan IV yang dirilis OJK belum lama ini:
1.
pengembangan produk, yang
utamanya terkait aktivitas usaha dan kelembagaan yang lebih terintegrasi dan sinergis.
2.
pengembangan pembiayaan dan
layanan yang mendukung sektor ekonomi prioritas, inklusi finansial dan
pembiayaan produktif.
3.
penguatan kolaborasi
antarotoritas dalam mendukung pengembangan perbankan syariah.
4. penguatan
harmonisasi pengaturan dan kebijakan sesama perbankan maupun antar jasa
keuangan yang tetap memperhatikan karakteristik syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Muhammad.
2014. Sistem dan Prosedur Operasional
Bank Syariah. UII Press. Yogyakarta.
Ø Syafi’i
Antonio, Muhammad. 2013. BANK SYARIAH :
Dari Teori ke Praktik. Gema Insani : Jakarta.
Ø Sudarsono,
Heri. 2013. Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah. Ekonosia : Yogyakarta
0 komentar