Ust. Marwan Hakim Sang Pelopor Pendidikan Aikperapa
Sang Maestro Pendidikan Aikperapa
Marwan Hakim (35) adalah ustadz
sekaligus tokoh pendidikan di Desa Aikperapa. Meskipun disegani, namun
penampilan Beliau sangat bersahaja. Tak ada topi putih yang menjadi
atribut dan menandakan bahwa dia seorang ustadz. Tak jarang orang di
luar Desa Aikperapa menganggapnya sebagai tukang ojek. Ia pun tak marah,
malah ketawa saja. “Ya kita kan ingin dekat dengan masyarakat,”
katanya.
Marwan Hakim mempelopori pendirian SMP dan SMA
di Aikperapa. Namun, perjuangannya tak mudah, mengingat sekolah tidak
dianggap penting bagi kebanyakan masyarakat desa Aikperapa. “Orangtua di
sini kalau anaknya sudah tamat SD rata-rata gembira dia karena ada yang
membantu bekerja di ladang. Bahasanya itu bukan anak saya lulus, tapi
anak saya sudah lepas dari sekolah! Seolah-olah sekolah adalah penjara,”
ungkap beliau.
Inilah tantangan yang dihadapi Marwan hakim.Tidak mudah mengubah paradigma masyarakat. Ia
pun memulai perjuangannya dengan pendekatan persuasif. Anak-anak
diajaknya mengaji pada waktu sore hari. “Filosofinya, ibarat menangkap
ayam, anaknya dulu kita tangkap, otomatis induknya akan mengikuti,”
tutur Marwan.Hal ini dilakukannya sejak tahun 2002.
Pada saat mengaji itulah Marwan menyemangati anak-anak agar giat
belajar. Mengaji saja tak cukup, tetapi orang harus pintar supaya bisa
bekerja lebih baik dan kehidupannya lebih sejahtera. Begitulah kata-kata
yang sering diucapkannya.
Dua tahun kemudian (2004), kata-kata
semangat belajar itu pun mewujud. beliau sendiri tak menyangka bahwa
kata-katanya bisa mengobarkan semangat belajar anak-anak. Hingga suatu
ketika, ada 11 murid mengajinya tiba-tiba datang kepadanya sudah
mengenakan baju seragam. “Pak, ayo kita sekolah!” kata Marwan menirukan
ucapan anak-anak.
Marwan terhenyak, bingung. Bagaimana
ini? Ia tak punya guru, tak punya kelas yang layak. Namun, Marwan juga
tak ingin memadamkan semangat anak-anak itu. Maka dengan fasilitas
seadanya, Marwan berusaha mendatangkan guru. Maka, didirikanlah SMP di
rumahnya. Itulah SMP pertama di desa Aikperapa.
Di mata Syaiful, Marwan adalah tokoh
yang unik. Bisa diibaratkan, Marwan adalah tumpuan harapan bagi
masyarakat desa Aikperapa. Selain mendirikan SMP dan SMA, Marwan juga
rajin silaturahmi dengan dunia luar, terutama pejabat yang berwenang di
kabupaten.
Ketika malam tiba, Desa Aikperapa gelap gulita. “Di sini listrik baru masuk dua tahun yang lalu. Itu juga hasil perjuangan Ustadz Marwan,” ujar Syaiful.
Ketika malam tiba, Desa Aikperapa gelap gulita. “Di sini listrik baru masuk dua tahun yang lalu. Itu juga hasil perjuangan Ustadz Marwan,” ujar Syaiful.
Marwan sendiri mengaku kecewa dengan
keadaan keluarganya. Ibunya meninggal ketika Marwan naik ke kelas 3 SMP,
lalu ayahnya menikah lagi. Karena tiadanya biaya, Marwan tak sempat
menamatkan pendidikannya di SMIK (Sekolah Menengah Industri Kayu) di
Mataram. “Saya drop out, tapi akhirnya tahun 2005 saya bisa mengikuti ujian persamaan,” jelasnya.
Untuk bisa bersekolah di kota, Marwan mondok di Pondok Pesantren Darul Falah, Mataram. Namun, karena pondok itu tidak menyelenggarkan pendidikan umum, maka ia sekolah di luar yang jaraknya 2 kilometer. Saban hari, Marwan jalan kaki ke sekolah.
Marwan adalah anak pertama dari 11
bersaudara. Saudara kandungnya ada 3 dan saudara tirinya 7. Latar
belakang itulah yang mendorong Marwan ingin memajukan desanya melalui
pendidikan. Ia mengajak teman-temannya di ibukota kecamatan untuk ikut
berjuang mendirikan sekolah di desanya. Maklum, desa yang berpenduduk
4.100 jiwa ini hanya memiliki satu orang sarjana.
Kini, hasil perjuangan Marwan dan
teman-temannya tak sia-sia. Sekolah yang didirikannya tahun 2004 itu
sudah meluluskan 200 orang tamat SMP dan 50 orang tamat SMA.
Perjuangan Marwan dan kawan-kawan tak berhenti sampai di situ. Mereka terus mengobarkan semangat belajar hingga ke dusun lain. Salah satunya adalah di dusun Bornong, desa tertinggi di kaki Gunung Rinjani. “100 meter dari sini ke utara sudah masuk kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR),” ujar Ama Ahmad (50), ketua RT 06 dusun Bornong, Desa Aikperapa.
Perjuangan Marwan dan kawan-kawan tak berhenti sampai di situ. Mereka terus mengobarkan semangat belajar hingga ke dusun lain. Salah satunya adalah di dusun Bornong, desa tertinggi di kaki Gunung Rinjani. “100 meter dari sini ke utara sudah masuk kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR),” ujar Ama Ahmad (50), ketua RT 06 dusun Bornong, Desa Aikperapa.
Menurut Ahmad, masyarakat di Bornong lah
yang meminta Ustadz Marwan agar membuka sekolah di dusunnya. “Karena di
sini belum ada sekolahan,” katanya.
Anak-anak yang bersekolah di Bornong,
tampak bersemangat sekali mengikuti pelajaran. Mereka belum punya kelas
yang layak. Kegiatan belajar mengajar itu dilakukan secara lesehan di
sebuah rumah yang dipinjam dari warga setempat. Lonceng tanda pelajaran
selesai juga terbuat dari piring kaleng bekas yang sudah karatan. Di
tengah suasana amat terbatas itu, anak-anak bersuara keras menghafal
Pancasila, menirukan ucapan guru mereka.
Sementara itu Musfet (30), Kepala
Sekolah Madrasah Aliyah Riyadul Falah mengungkapkan, ia terharu
sekaligus malu dengan perjuangan yang dilakukan Marwan. Musfet sendiri
adalah lulusan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia
merasa malu karena pendidikannya lebih tinggi dibanding Marwan, tetapi
semangat berbagi ilmu tak sehebat Marwan. “Saya terharu dengan
perjuangannya yang tak kenal lelah. Makanya saya mau membantu walaupun
gajinya tak seberapa,” ujarnya.
Cara Marwan mengelola sekolah, menurut
Musfet cukup bijak dan benar-benar amanah. Pihak sekolah tidak akan
memaksa orangtua murid harus membayar dengan uang tunai. Jika orangtua
tidak mampu membayar dengan uang, maka dia boleh menukarnya secara in natura. Misalnya, biaya administrasi sekolah dapat dibayar dengan tanaman pisang.
sumber: http://www.satu-indonesia.com
0 komentar