Ust. Marwan Hakim Sang Pelopor Pendidikan Aikperapa

by - 9/16/2017

Sang Maestro Pendidikan Aikperapa

Marwan Hakim (35) adalah ustadz sekaligus tokoh pendidikan di Desa Aikperapa. Meskipun disegani, namun penampilan Beliau sangat bersahaja. Tak ada topi putih yang menjadi atribut dan menandakan bahwa dia seorang ustadz. Tak jarang orang di luar Desa Aikperapa menganggapnya sebagai tukang ojek. Ia pun tak marah, malah ketawa saja. “Ya kita kan ingin dekat dengan masyarakat,” katanya.

Marwan Hakim mempelopori pendirian SMP dan SMA di Aikperapa. Namun, perjuangannya tak mudah, mengingat sekolah tidak dianggap penting bagi kebanyakan masyarakat desa Aikperapa. “Orangtua di sini kalau anaknya sudah tamat SD rata-rata gembira dia karena ada yang membantu bekerja di ladang. Bahasanya itu bukan anak saya lulus, tapi anak saya sudah lepas dari sekolah! Seolah-olah sekolah adalah penjara,” ungkap beliau. 

Inilah tantangan yang dihadapi Marwan hakim.Tidak mudah mengubah paradigma masyarakat. Ia pun memulai perjuangannya dengan pendekatan persuasif. Anak-anak diajaknya mengaji pada waktu sore hari. “Filosofinya, ibarat menangkap ayam, anaknya dulu kita tangkap, otomatis induknya akan mengikuti,” tutur Marwan.Hal ini dilakukannya sejak tahun 2002. Pada saat mengaji itulah Marwan menyemangati anak-anak agar giat belajar. Mengaji saja tak cukup, tetapi orang harus pintar supaya bisa bekerja lebih baik dan kehidupannya lebih sejahtera. Begitulah kata-kata yang sering diucapkannya.

Dua tahun kemudian (2004), kata-kata semangat belajar itu pun mewujud. beliau sendiri tak menyangka bahwa kata-katanya bisa mengobarkan semangat belajar anak-anak. Hingga suatu ketika, ada 11 murid mengajinya tiba-tiba datang kepadanya sudah mengenakan baju seragam. “Pak, ayo kita sekolah!” kata Marwan menirukan ucapan anak-anak.

Marwan terhenyak, bingung. Bagaimana ini? Ia tak punya guru, tak punya kelas yang layak. Namun, Marwan juga tak ingin memadamkan semangat anak-anak itu. Maka dengan fasilitas seadanya, Marwan berusaha mendatangkan guru. Maka, didirikanlah SMP di rumahnya. Itulah SMP pertama di desa Aikperapa.

Di mata Syaiful, Marwan adalah tokoh yang unik. Bisa diibaratkan, Marwan adalah tumpuan harapan bagi masyarakat desa Aikperapa. Selain mendirikan SMP dan SMA, Marwan juga rajin silaturahmi dengan dunia luar, terutama pejabat yang berwenang di kabupaten.
Ketika malam tiba, Desa Aikperapa gelap gulita. “Di sini listrik baru masuk dua tahun yang lalu. Itu juga hasil perjuangan Ustadz Marwan,” ujar Syaiful.

Marwan sendiri mengaku kecewa dengan keadaan keluarganya. Ibunya meninggal ketika Marwan naik ke kelas 3 SMP, lalu ayahnya menikah lagi. Karena tiadanya biaya, Marwan tak sempat menamatkan pendidikannya di SMIK (Sekolah Menengah Industri Kayu) di Mataram. “Saya drop out, tapi akhirnya tahun 2005 saya bisa mengikuti ujian persamaan,” jelasnya.

Untuk bisa bersekolah di kota, Marwan mondok di Pondok Pesantren Darul Falah, Mataram. Namun, karena pondok itu tidak menyelenggarkan pendidikan umum, maka ia sekolah di luar yang jaraknya 2 kilometer. Saban hari, Marwan jalan kaki ke sekolah.

Marwan adalah anak pertama dari 11 bersaudara. Saudara kandungnya ada 3 dan saudara tirinya 7. Latar belakang itulah yang mendorong Marwan ingin memajukan desanya melalui pendidikan. Ia mengajak teman-temannya di ibukota kecamatan untuk ikut berjuang mendirikan sekolah di desanya. Maklum, desa yang berpenduduk 4.100 jiwa ini hanya memiliki satu orang sarjana.

Kini, hasil perjuangan Marwan dan teman-temannya tak sia-sia. Sekolah yang didirikannya tahun 2004 itu sudah meluluskan 200 orang tamat SMP dan 50 orang tamat SMA.
Perjuangan Marwan dan kawan-kawan tak berhenti sampai di situ. Mereka terus mengobarkan semangat belajar hingga ke dusun lain. Salah satunya adalah di dusun Bornong, desa tertinggi di kaki Gunung Rinjani. “100 meter dari sini ke utara sudah masuk kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR),” ujar Ama Ahmad (50), ketua RT 06 dusun Bornong, Desa Aikperapa.

Menurut Ahmad, masyarakat di Bornong lah yang meminta Ustadz Marwan agar membuka sekolah di dusunnya. “Karena di sini belum ada sekolahan,” katanya.
Anak-anak yang bersekolah di Bornong, tampak bersemangat sekali mengikuti pelajaran. Mereka belum punya kelas yang layak. Kegiatan belajar mengajar itu dilakukan secara lesehan di sebuah rumah yang dipinjam dari warga setempat. Lonceng tanda pelajaran selesai juga terbuat dari piring kaleng bekas yang sudah karatan. Di tengah suasana amat terbatas itu, anak-anak bersuara keras menghafal Pancasila, menirukan ucapan guru mereka.

Sementara itu Musfet (30), Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Riyadul Falah mengungkapkan, ia terharu sekaligus malu dengan perjuangan yang dilakukan Marwan. Musfet sendiri adalah lulusan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia merasa malu karena pendidikannya lebih tinggi dibanding Marwan, tetapi semangat berbagi ilmu tak sehebat Marwan. “Saya terharu dengan perjuangannya yang tak kenal lelah. Makanya saya mau membantu walaupun gajinya tak seberapa,” ujarnya.

Cara Marwan mengelola sekolah, menurut Musfet cukup bijak dan benar-benar amanah. Pihak sekolah tidak akan memaksa orangtua murid harus membayar dengan uang tunai. Jika orangtua tidak mampu membayar dengan uang, maka dia boleh menukarnya secara in natura. Misalnya, biaya administrasi sekolah dapat dibayar dengan tanaman pisang.
  
sumber: http://www.satu-indonesia.com

You May Also Like

0 komentar